29. Bara POV : Family time

1.9K 94 1
                                    

                       Happy reading!

Akhirnya istri kecilku itu mau juga diajak untuk makan malam bersama. Sembari menunggu istri kecilku yang sedang bersiap-siap, aku mengecek ponselku sebentar melihat beberapa notifikasi pesan yang masuk. Aku menghela napas, jadi begini rasanya menunggu cewek berdandan? Lama banget!

Aku lihat dia menuruni anak tangga, penampilannya untuk malam ini sangat cantik. Cukup sederhana dengan memakai dress selutut berwarna Lilac dan ditambah dengan aksen bunga mawar berwarna senada di pita rambut. Ternyata istri kecilku ini bisa memilih pakaian sesuai dengan usianya.

Terlalu jaga image untuk memuji gadis yang ada di depanku ini, aku hanya berkata. "Lama," ucapku setengah malas.

"Maaf." Jawabnya tersenyum kikuk, dengan cepat aku menarik pergelangan tangannya menuju ke arah mobil.

Diperjalanan hanya hening yang kembali menyelimuti suasana di dalam mobil malam ini. Kami berdua saling diam, tanpa berbicara sepatah katapun. Aku terlalu malas untuk membuka obrolan dan dia tetap pandangannya keluar jendela.

Huhh ... akhirnya sampai juga di rumah mewah kedua orangtuaku. Aku dan Kiara bergegas dari dalam mobil. Kami berdua berjalan beriringan, kulihat dia sedikit gugup padahal waktu pertama kali menikah kami berdua juga tinggal di sini untuk sementara waktu sebelum pindah ke rumah baru.

Sesampainya kami berdua di depan pintu besar berwarna putih dan terlihat kedatangan kami disambut hangat oleh wanita kesayanganku yaitu, Mama.

"Akhirnya, anak dan menantu kesayangan Mama datang juga!" sapa Mamaku begitu antusias dan langsung memeluk Kiara dengan sayang.

Saking senangnya sampai aku aja dilupain, gara-gara acara berpelukan itu. Aku memutuskan untuk berjalan menuju ke dalam rumah terlebih dahulu, meninggalkan Mama dan Kiara melepas rindu.

"Hey, bocah!" sapaku kepada adik bungsuku-- Felia Adiwijaya.

"Apaan sih, Kak! Aku bukan bocah lagi!" ketusnya mendelik tajam. Walaupun seperti itu aku cuma sengaja menjahili adik bungsuku.

Aku terkekeh dan tatapan mataku tertuju kepada Kiara dan Mama sudah ada bersama kami. Sekarang semuanya sudah berkumpul di meja makan. Di sini ada kedua adikku, Brian dan Felia, Om Monata sama Tante Alena. Cuma mereka yang datang tetapi suasananya sangat ramai dengan canda dan tawa.

Kiara duduk di sampingku, aku menoleh ke arahnya terlihat sekali wajah gugupnya mendominasi. Aku menautkan tanganku dan tangannya untuk menyalurkan kehangatan agar rasa gugupnya berkurang.

Astaga Kiara! Saking gugupnya tangan aku aja sampai di remas-remas. Keringat dingin terasa sekali di telapak tangan mungilnya. Aku mencoba berusaha untuk menenangkan dirinya dengan caraku sendiri dan bergumam.

"Stay calm," gumamku pelan dan dia mengangguk mengerti.

Dia menghirup udara dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan. Dan mencoba tersenyum canggung, setidaknya perasaan gugupnya berkurang.

"Silahkan dinikmati hidangannya!" seru Felia-- adikku dengan suara cemprengnya. Benar-benar ya, dikira hutan kali.

"Mulutnya," sinisku mendelik tajam ke arahnya yang dengan santainya menjulurkan lidahnya. Awas aja!

Aku berinisiatif mengambil beberapa lauk pauk yang tersedia diatas meja makan untuk istri kecilku. Setelah itu aku menaruh piring berisi lauk pauk untuknya. Dia tersenyum manis, shit! Membuatku sedikit tidak fokus.

"Ekhem!" Deheman dari kedua adikku membuat semua pandangan mereka teralihkan. Maksudnya apa coba? Cari perhatian?

"Duhh ... sini, Dek. Kakak ambilkan lauk pauknya," sindirnya memperagakan caraku mengambil lauk pauk untuk Kiara tadi.

Aku menatap tajam ke arah Brian dan Felia, yang sedang tersenyum meledek ke arahku. Sedangkan yang lain ikut terkekeh melihat kelakuan dari anak pengganggu itu. Kini giliran, Kiara-- istri kecilku mengusap punggung belakangku dengan lembut, berusaha agar aku tidak emosi sekarang.

Setelah selesai dengan ritual makan malam, kami semua berkumpul dan duduk bersama di ruang keluarga tentunya. Disebelah kiri bagian dari Papaku, Om Monata dan Brian. Sedangkan disebelah kanan, ada Mamaku, Tante Alena dan Felia. Kalau kalian mengira Kiara ikut berkumpul bersama Felia, itu salah besar. Aku tidak mau Kiara berdekatan dengan Felia si tukang kompor seperti itu, yang ada nanti tertular kepada istri kecilku.

Entahlah, aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama malam ini dengan Kiara.

"Cie, cie ... berduaan terus!" tau, 'kan sumber suara itu berasal dari mulut Felia-- adikku. Tak lupa juga ia tersenyum mengejek.

Aku tak menghiraukan sindiran dari adik pengganggu dan tetap fokus pada Kiara. Bodo amat dengan nasibnya yang masih jomblo.

"Ya ... Tuhan, dikacangin!" lirihnya seolah-olah bersedih, dengan mimik wajah yang dibuat-buat. Meresahkan!

"Dasar jomblo!" ketusku dan sengaja merangkul pundak Kiara dihadapannya.

Kulihat dia mencebikkan bibirnya merasa kalah sindiran denganku. Siapa suruh jadi pengganggu, keliatan banget jomblonya. Hahaha ... nasib.

"Udah, Tuan." Kiara melerai pertikaian antara aku dan Felia. Aku pun hanya mengangguk saja.

"Kak Ara, kok sanggup sih sama Kak Bar-bar ini?" tanyanya sedikit memelas. Emang dasarnya untuk mencari perhatian dari Kiara sedari tadi.

"Emangnya kenapa, Fel?" Kiara malah bertanya balik, sembari mengernyit heran.

"Kakak gak tau apa, Kak Bar-bar yang kaya singa itu," jawabnya tersenyum jahil, kepada kami berdua. Felia kalau disahut pertanyaannya akan semakin menjadi-jadi. Seperti sekarang ini, menyebalkan!

Tiba-tiba Kiara tersenyum gak jelas menanggapi perkataan dari adik lucnut itu. Entahlah, aku juga tidak tau apa yang menyebabkan Kiara tersenyum gak jelas itu.

Daripada mendengar ocehan tak penting dari adik lucnut, pengacau dan pengganggu itu. Lebih baik, aku membawa Kiara ke tempat yang lebih nyaman untuk berinteraksi. Kalau lama-lama berada di sini, bisa-bisa Kiara ikut terhasut oleh ocehannya itu.

         Bara POV end ✨
. Kira-kira, Bara mau ngajak Kiara ke mana, ya?'°'

Married With CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang