Rasa 53 - Selamat Tidur

128 10 0
                                    

Dokter yang menangani Ramdan keluar dari ruangan operasi, raut wajahnya kali ini terlihat tak bersahabat. Peluh di keningnya seolah tanda, seberapa kerasnya dia berjuang mempertahankan nyawa pasiennya.

"Atas nama pasien Bachtiar Ramdan Saputra, keluarganya yang mana?" ujar dokter itu, lalu Anas dan Tasya menghampiri lebih dulu diikuti Sasya dan Dera di belakang. Sedangkan Danendra masih duduk di kursi tunggu.

"Mohon maaf yang sebesar-besarnya Bapak, Ibu. Saya dan dokter lain sudah berusaha semaksimal mungkin, namun sepertinya Tuhan lebih sayang dengan pasien. Hari ini, pukul 20.18 Wib, saya nyatakan saudara Bachtiar Ramdan Saputra telah meninggal dunia secara medis."

DEG!

"KAKAK!"

Jerit Sasya histeris, jantungnya berdesir kencang. Waktu seolah berhenti berdetak, kepalanya berdenging. Gambaran saat Ramdan masih bersamanya, berputar seperti kaset rusak.

Momen-momen sejak mereka kecil, hingga tumbuh menjadi besar. Janji Ramdan yang ingin menjaganya, ingkar sudah.

"Sabar Sya, yang ikhlas...," ujar Dera sambil mengelus dada Sasya, meski dirinya merasakan kesedihan yang sama.

Sasya jatuh terduduk, menangis histeris dan terus memanggil-manggil nama Ramdan.

"Kak Ramdan bohong! Katanya mau jagain Sasya! Katanya kita mau kuliah bareng! Kak Ramdan kenapa bohong Kak!" air mata mengucur deras dari kelopak matanya.

Hatinya hancur berkeping-keping, kini siapa lagi yang akan menjadi sandaran untuk Sasya?

"Ikhlasin Sya, lapangin hati kamu buat nerima takdir ini," ucap Dera memeluk Sasya dari samping.

Sementara Anas dan Tasya sudah lebih dulu masuk ke dalam ruangan, melihat bagaimana keadaan Ramdan yang sudah terbujur kaku.

"Ayo bangun Sya, kita ketemu kakak kamu terakhir kalinya." Danendra menghampiri Sasya dan Dera yang terkapar di depan pintu ruang operasi.

Sasya dipapah oleh Danendra dan Dera, kakinya lemas untuk berjalan. Sementara isak tangis sudah mulai bersahutan di dalam ruangan.

"Maafin Papi, Ramdan. Papi belum bisa jadi ayah yang baik buat kamu, jika waktu bisa diulang Papi mau menebus segalanya."

"Maafin Papi ya nak, mungkin selama ini Papi ngga pernah menunjukkan rasa sayang Papi. Kamu anak yang pintar, kamu udah sangat berbakti pada Papi. Maafin Papi, waktu itu Papi cuma bilang kamu anak angkat kesayangan Papi. Kamu udah Papi anggep seperti anak kandung sendiri, Nak. Maafin Papi, maafin Papi..."

Anas mencium tangan Ramdan, mengusap wajah Ramdan yang sudah membiru. Lalu tak kuasa meneteskan air mata.

"Maafin Mami juga, Ramdan. Selama ini Mami selalu memikirkan diri sendiri, Mami malah mengabaikan kalian. Mami belum bisa menjadi sosok ibu yang kamu harapin. Maafin Mami yang melampiaskan dendam ke kalian, Mami benar-benar minta Maaf Ram...," Tasya kemudian mencium pipi Ramdan. Lalu memeluk suaminya untuk saling menguatkan.

Kini giliran Sasya.

Gadis itu mendekat, menyaksikan bibir kakaknya yang memucat. Lalu tangan mungilnya meraih jari-jari Ramdan, mengusapnya cukup lama. Berharap semoga genggamannya mampu menghangatkan tangan Ramdan yang kini terasa dingin.

Namun ketika pandangannya beralih ke wajah Ramdan, kakaknya sudah menutup matanya rapat. Padahal baru kemarin, Ramdan bangun dari tidur panjangnya.

"Kak Ramdan tidur lagi ya?"

"Kak Ramdan mimpi indah lagi ya?"

"Kak Ramdan, makasih udah berjuang sampai detik ini." suara Sasya mulai serak dan tersendat-sendat.

"Tapi Kak..."

"Kalau Kakak pergi, Sasya sama siapa?"

Gadis itu menangis tanpa suara, dadanya sesak. Dia tidak tahu lagi selain pasrah, ikhlas menerima bahwa Ramdan lebih disayang oleh Tuhan.

Dera mengusap punggung Sasya, gadis itu sama pedihnya. Kehilangan sosok yang dicintai bukanlah hal yang bisa diterima begitu saja, ada rasa belum siap kehilangan namun dipaksa menerima.

"Kak Dera, gimana ini kak?" Sasya memeluk tubuh Ramdan, dia belum siap kehilangan sosok kakak dalam hidupnya.

Dera mengusap air matanya, lalu turut memeluk Ramdan. "Sepertinya, aku sangat terlambat mengucapkan ini Ram. Aku- mencintaimu, lebih dari apapun." bisik Dera pada laki-laki yang sudah terbujur kaku itu dengan penuh kesedihan.

Perempuan itu sama sekali tak menyangka, dia menyatakan cinta pada orang yang sudah tak bernyawa.

"Tidurlah Ram, aku ikhlas..."

Dera menjauhi bangkar, jatuh meluruh di lantai. Lalu menutupi wajahnya dengan telapak tangan, menangislah dia sejadi-jadinya.

Danendra berada di samping Sasya, memperhatikan gadis yang tak mau lepas dari Kakaknya. Pria itu tau, perjuangan seperti apa yang telah Sasya lakukan agar Ramdan pulih.

Namun Tuhan punya jalan ceritanya sendiri, Ramdan lebih disayang oleh Tuhannya.

Danendra mengusap punggung Sasya tanpa sepatah kata.

"Kak, kalau Kakak pergi. Sasya sama siapa?"

Kalimat yang terus diucapkan oleh Sasya, berulang kali sampai Danendra tak kuasa menitikkan air mata. Pria sekelas Danendra pun tak bisa apa-apa, jika dihadapkan dengan kematian.

"Selamat tidur, Ramdan."

••••

Rumah keluarga Anas sudah ramai oleh orang-orang, kabar duka lebih dulu disampaikan. Bendera kuning sudah bertengger, mobil jenazah masih dalam perjalanan.

Rumah yang biasanya sepi tak berpenghuni, sekarang dipenuhi para pelayat berpakaian hitam.

"Kasihan sekali ya anaknya Anas, masih muda loh."

"Iya, bener bu. Dia sepantaran sama anak saya, kuliah di UI loh bu. Katanya sih dia anak yang berprestasi."

"Aduh ngga nyangka ya, anak sebaik itu cepet dipanggil Tuhan."

"Denger-denger ya Bu, orang tuanya ngga pernah jenguk selama di rawat di rs. Cuma anaknya yang baru lulus SMA kemarin yang jaga."

"Ih, kasian banget anak-anak mereka ya bu. Kurang kasih sayang dari orang tua."

WIU! WIU! WIU!

Sirine ambulan terdengar semakin nyaring, itu pertanda sudah semakin dekat jenazah Ramdan.

Tangis hanyalah tangis, tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Hanya saja, kapan dan dimana kita tak pernah mengetahuinya.

Tidak ada satupun orang yang menginginkannya, namun takdir terkadang punya seribu cara agar kita paham arti menerima.

Melepas tanpa sepatah kata, rasanya terlalu menyakitkan untuk kita yang belum terbiasa dengan perpisahan.

Terkadang, akal dan pikiran tak sejalan dengan kenyataan. Namun, waktu akan terus berdetak meskipun kita tak menginginkannya sekalipun.

Hal paling utamanya adalah waktu tidak bisa diputar kembali. Jadi; hargai selagi ada, sayangi selagi masih bersama.

REST IN PEACE "RAMDAN BACHTIAR SAPUTRA"

••••

Penyatu Rasa [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang