Rasa 54 - Obat Luka

292 12 0
                                    

Malam jatuh pada gelap-gelap semesta, cahaya yang dulu seterang surya sekarang telah gulita seutuhnya.

Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bertahun-tahun. Duka selalu tertancap khusus dalam relung jiwa, seolah kau terus terjebak dalam kelam kala itu selamanya.

Lirih, terkadang isakan tumpang tindih.

Jika kehilangan bisa datang secepat ini, kenapa kebahagiaan tak pernah datang terburu-buru?

"Kak Ram, Sasya kangen."

Matanya sembab, hidungnya merah. Sasya duduk meringkuk di atas kasur milik Ramdan.

"Huft! Bahkan keberadaan kakak masih membekas di sudut-sudut kamar ini."

Piala-piala emas tersusun rapi di lemari kaca, piagam penghargaan bertumpuk-tumpuk di atas meja.

"Kak Ram, ada disini ngga ya?"

Sasya terus meracau, apakah jiwa kakaknya masih berada di sini? Bersamanya?

"Kak, sekarang semuanya normal. Papi sama Mami, udah berubah. Mereka lebih sayang sama Sasya, keluarga besar juga sudah menerima kita. Tapi, kenapa Kakak harus pergi duluan? Harusnya kita bahagianya bareng sama Kakak..."

Sasya memeluk guling di sampingnya, menulis-nulis acak dengan telunjuk jarinya. Pikirannya terus berkelana, bagaimana saat kebahagiaan datang bersamaan dengan duka yang merejam.

••••
#HARI PEMAKAMAN RAMDAN#
FLASHBACK

Hari ini semuanya terlihat muram, tidak ada tutur kata yang mampu menjelaskan bagaimana situasi sekarang. Hanya ada mata yang berkaca-kaca, menahan tangis, bahkan menangis.

Sasya dipeluk oleh Maminya, mereka menyaksikan Anas dan yang lain mencangkul tanah. Tanah yang di dalamnya, bersemayam tubuh Ramdan.

Bahkan kematian tak pernah terbersit dalam pikiran Sasya.

"Ayo Sya," ajak Tasya. Saat waktunya menabur bunga, Sasya malah melamun.

"Iya, Mi."

Setelah pemakaman selesai, satu persatu orang pergi. Hanya tersisa Sasya, Danendra, Dera.

Mami dan Papinya pulang lebih dulu, sebab di rumah banyak yang harus diurus.

"Ayo pulang Sya, Ramdan udah tenang disana." ucap Dera lemah.

Sasya hanya diam, memandang batu nisan itu dengan tatapan mata kosong.

"Sya, tenangin diri kamu. Tuhan tahu mana yang terbaik untuk kita." celetuk Danendra.

Gadis itu menatap Danendra tak suka, "Lo pikir ini yang terbaik buat gue? Buat Kakak gue? Lo ngga tau rasanya ditinggalin selamanya sama orang yang kita sayang. Udah deh, mending lo pulang. Gue mau sendiri."

Danendra mengusap wajahnya kasar, "Bukan gitu maksud gue Sya, sorry kalau perkataan gue nyakitin hati lo. Tapi, dengan lo kayak gini takutnya Ramdan disana jadi ikutan sedih."

"Biarin! Biarin kakak gue sedih! Ini salah dia, kenapa ninggalin gue sendirian! Kalau bisa minta pun, gue pengin nyusul dia aja!"

Sasya histeris, menyalahkan takdir yang telah mengambil Ramdan dari sisinya.

Dera mendekapnya, "Udah ya Sya, lebih baik kita doain Ramdan. Nangis ngga papa kok, Kakak juga ngga tau lagi harus gimana. Ramdan udah pergi selamanya. Kita harus ikhlas..."

Sasya pucat pasi, kepalanya mulai terasa pening. Tiba-tiba tubuhnya ambruk ke gundukan tanah yang masih basah ini.

"Sasya!" teriak Dera.

Penyatu Rasa [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang