Rasa 52 - Kebencian

115 10 0
                                    

Bau obat di dalam rumah sakit adalah ciri khas, atau pasien yang hilir mudik dibawa oleh para perawat pun sudah hal yang biasa. Ramdan tengah berada di ruang operasi, dokter dan para asistennya sedang berkonsentrasi agar operasi yang mereka lakukan berjalan dengan lancar.

"KAK DERA!"

Dari kejauhan Sasya memanggil nama Dera sambil bersimbah tangis, dia berlari kemudian menubruk tubuh Dera.

"Kakak takut banget Sya, Kakak bingung. Kakak ngga tau lagi harus gimana..." ucap Dera lemah.

"Sasya tau rasanya di posisi Kakak. Kita berdoa terus Kak, semoga Kak Ramdan masih diberi kesempatan..."

"Amiin sya! Amiin!"

"Kalian duduk dulu, tenangin pikiran. Jangan sampai drop." ujar Danendra yang sedari tadi menyaksikan dua perempuan yang berpelukan sangat erat itu.

"Oh iya, aku kabarin Mami sama Papi dulu." ucap Sasya tersendat-sendat.

"Boleh aku yang bicara ngga Sya?" saran Danendra. Sasya nampak berpikir, tapi apa salahnya mencoba?

"Bentar, belum diangkat. Eh ini udah!" Sasya kemudian memberikan ponsel miliknya, membiarkan Danendra yang mengambil alih.

"Halo Sya. Papi sibuk, nanti-"

"Halo Om, bisa dengerin saya dulu? Saya Danendra, anak tunggal Ardana group. Sasya lagi nangis kejer di depan ruang operasi Om, Om bisa ngga dateng kesini sebentar doang? Anak angkat Om lagi kritis, mungkin ini terakhir kalinya dia ngeliat Om."

"Saya kesana sekarang."

Danendra tersenyum, "Sekarang telepon Mami kamu," perintah Danendra. Lalu Sasya mendial nomor Maminya.

"Halo, Sya? Mami lagi liburan sama temen-temen, jangan ganggu Ma-"

"Halo Tan, ini bukan Sasya. Saya Danendra Ardana, Tante bisa ke rumah sakit sekarang ngga? Anak angkat tante lagi kritis, semoga Tante mau menemuinya walaupun cuma sebentar."

"Bisa banget dong! Tante kesana sekarang." jawab Tasya lalu memutuskan panggilan.

Sasya yang masih menangis, menanyakan bagaimana hasilnya pada Danendra.

"Mereka mau kesini, kamu tenangin diri dulu." ucap Danendra lalu memberikan ponsel milik Sasya.

Gadis itu menangis dipelukan Dera, perempuan yang sudah dianggap seperti Kakaknya sendiri. "Kak Dera, Sasya takut Kak Ramdan pergi. Nanti kalau Kakak pergi, Sasya sama siapa?" racau Sasya semakin ngaco.

"Sudah Sya, jangan berburuk sangka. Semua orang sudah digariskan takdirnya oleh yang Maha Kuasa, kita sebagai manusia harus bisa menerima apapun yang nanti terjadi pada Kakak kamu."

"Tapi Kak, Kak Ramdan belum menuhin janjinya. Jadi, dia belum boleh pergi sekarang kan Kak?"

Dera mengangguk, "Ramdan juga bilang gitu ke Kakak, sebelum kritis dia sempet nyari sesuatu. Kayaknya dia lagi nyariin kamu, waktu kakak nunjukin foto bareng sama kamu. Ramdan netesin air mata, banyak banget. Kakak langsung lapin pake tisu, kakak sendiri juga ikutan nangis."

"Ramdan sepertinya punya banyak hal yang ingin disampaikan ke kamu Sya, tapi dia ngga bisa ngomong apa-apa..." sambung Dera.

"Kak Dera, makasih. Makasih udah nemenin Kak Ramdan, udah jagain selama Sasya ngga ada. Kak Dera, kalau Kak Ramdan sembuh aku yang bakal jodohin kalian!" ujar Sasya yang matanya sudah membengkak, serta hidung yang memerah.

"Kakak ikhlas apapun yang terjadi Sya, yang paling penting Ramdan sembuh dulu."

"Iya Kak, makasih..."

••••

Danendra hanya duduk di kursi tunggu, dia ikut merasakan apa yang Sasya rasakan. Kehilangan orang yang disayangi adalah ketakutan paling mengerikan.

"Gimana keadaan anak Saya, Danendra?" tanya seorang pria paruh baya dengan pakaian kantornya.

"Dokter belum keluar Om, tapi firasat saya jelek. Semoga aja sih dia bisa bertahan...," jawab Danendra menatap lurus pada mata Anas.

Anas menghela nafas dalam, lalu duduk disamping Danendra. Pria tua itu melepas kacamata, lalu memijat pangkal hidungnya.

"Kau tahu, saya juga tidak ingin hal seperti ini terjadi." ucap Anas sendu.

"Kehidupan ini terlalu rumit, bahkan saya sendiri belum bisa bangkit dari depresi saya selama ini." sambungnya.

"Saya tahu, setiap orang punya sisi gelapnya sendiri. Tapi itu bukan berarti bisa dijadikan sebagai alasan untuk membela diri, dari awal anda sudah benar pergi dari keluarga yang toxic. Tapi konyolnya, kalian justru menjadikan anak-anak kalian sebagai pelampiasan."

"Ramdan dan Sasya, mereka tak pernah memikirkan kebahagiaan mereka. Tapi kalian justru menyiksanya, dengan alasan hidup mandiri. Pak, mereka juga butuh figur orang tua untuk membimbing."

Anas terdiam, selama ini dia tak pernah mendengarkan pendapat dari orang lain. Hanya Danendra yang bisa berbicara dari hati ke hati.

"Dari awal, kalau kalian memang ngga berniat mengasuh anak. Banyak panti asuhan yang siap menampung, tapi kalian menanamkan rasa benci pada Ramdan. Anak yang tidak tahu apa-apa tentang masalah orang dewasa."

"Iya, saya memang salah. Saya kecewa pada diri saya sendiri, bahkan anak kandung saya pun ikut terkena imbasnya." sesal Anas lalu memperhatikan Sasya yang tengah tertidur di kursi tunggu berseberangan dengannya.

••••

"Pah! Papah juga disini?" sapa Tasya begitu sampai di rumah sakit.

"Iya, aku mau ketemu sama anak-anakku. Sini duduk, kita perlu berbicara." timpal Anas.

"Apalagi sih Pah? Kalau bukan gara-gara Danendra, mana mungkin aku mau kesini. Anak sialan itu cuma nyusahin doang kerjaannya." maki Tasya.

"Dengerin dulu. Mah, Sasya udah ketemu sama keluarga besar. Katanya Ibu menyesal udah nuduh kamu, dia mau ke rumah buat minta maaf ke kita." jelas Anas yang langsung dihadiahi pelototan oleh Tasya.

"Ngga! Aku ngga mau ketemu Ibu kamu lagi! Apa ngga cukup penghinaan waktu itu?! Kamu masih ingat kan, mereka udah nuduh aku mandul Pah. MEREKA UDAH MENCORENG HARGA DIRI AKU SEBAGAI WANITA!" amuk Tasya dengan emosi yang meluap-luap.

"Ibu bakal minta maaf, udahlah mah. Lagian kejadian itu udah dua puluh tahun lalu." Anas mencoba untuk menasehati istrinya, namun tangan Anas selalu ditepis oleh Tasya.

"Dengerin aku Pah! SAMPAI KAPAN PUN AKU NGGA AKAN PERNAH MAAFIN KELUARGA KAMU! TITIK!" teriak Tasya lantang.

Anas menghela nafas, kalau sudah urusan penyakit hati. Menghilangkannya akan sulit, bahkan yang sudah berpuluh-puluh tahun sekalipun akan tetap diingat dengan jelas.

"Mami! Papi! Kalian kapan dateng?" ucap Sasya yang terbangun karena teriakan Tasya.

••••
TO BE CONTINUED

READY FOR ENDING?

Penyatu Rasa [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang