"Nenek, Tante, Kakak. Ini alamat rumah Sasya. Nomor telepon Sasya juga udah ditulis, semoga Om Malik segera menjenguk Kak Ramdan. Sasya sangat senang sekali bisa dipertemukan dengan kalian, semoga Papi sama Mami bakal seneng juga. Aku tunggu kedatangan kalian ke rumah ya!" ucap Sasya keesokan harinya.
Dia tak mungkin berleha-leha disini dan membiarkan Ramdan hanya ditemani oleh Dera.
"Iya, Nak. Pasti Nenek bakal kesana, Nenek kangen banget sama Anas, sama Tasya. Nenek mau minta maaf ke mereka," ujar Miranda getir.
"Tante juga bakal bujuk Malik, bagaimana pun. Ramdan anak kandungnya, itu berarti dia anak saya juga."
"Syukurlah Tan...," Sasya sangat gembira mendengar penuturan Tirta.
"Kakak juga bakal ikut, yang penting kalau mau pergi bikin jadwal dulu. Biar enak sana sini, ya ngga Sya?" tambah Firda yang sudah semakin akrab dengannya.
Sasya tersenyum, mereka semua saling berpelukan. Hangat, kasih sayang yang selama ini Sasya inginkan akhirnya terwujud dengan kehadiran mereka.
"Kalau begitu aku pamit dulu ya Nek, Tan, Kak," pamit Sasya.
"Iya Sya, hati-hati ya."
"Iya Kak."
"Jio! Dio! Mainnya udahan, besok lagi main sama Kakak. Sekarang salim dulu sama Kakak," perintah Tirta pada anak kembarnya yang sudah melengket pada Danendra.
"Yah, Kakak kenapa ngga tinggal disini aja?" ucap Jio dengan wajah polosnya.
"Iya Kak! Dio ngga mau main kalo ngga sama Kakak!" Dio yang paling menyukai Danendra, anak kecil itu nampaknya sangat mengagumi sosok Danendra.
"Ngga papa dong, kan ngga harus sama kakak terus mainnya. Kan ada ibu, ada ayah, kakek, nenek, kalian ngga bakal main sendirian. Sekarang tos dulu, kapan-kapan kakak main kesini lagi deh." bujuk Danendra agar mereka tak merajuk.
"Ngga mau! Dio maunya main sama Kakak! HUA Mama!" Dio menangis sejadi-jadinya, sedangkan Jio hanya berdiri dengan raut sedih. Lalu mengajak Danendra bertos ria, "Anak pintar, cepet gede ya..." Danendra mengelus rambut kastanya milik Jio.
"Ayo kita pulang."
"Ayo."
••••
#PSIKIATRIK HOSPITAL#
"Ini kita kemana Ndra? Kok ke rumah sakit jiwa?" heran Sasya saat tujuan pulang berganti menjadi rumah sakit jiwa.
"Ada seseorang yang harus lo temui dulu," jawab Danendra ambigu.
"Gue masih waras ya tolong, jangan tinggalin gue disini dong ih. Apa jangan-jangan lo yang ngga waras ya? Gue mau nemenin lo priksa mental nih ceritanya?" celoteh Sasya di sepanjang jalan menuju ruangan yang Danendra pun tak tahu.
"Hus, gue juga waras dong. Yakali gue gila, kalau jadi ODGJ pasti gue yang paling ganteng kan. Gue bakal jadi sorotan media, hahaha mana mungkin gue gila."
"Lo kan ngga tau, lo gila apa engga. Setahu gue sih, lo emang gila."
Danendra berhenti melangkah, Sasya yang di belakangnya pun terantuk punggung Danendra.
"Aww! Jalan hati-hati dong!" omel Sasya seraya memegangi keningnya.
"Sst diem. Lihat disana." tunjuk Danendra pada seseorang yang memakai jubah putih, dia Malik sedang berbicara dengan pasien sakit jiwa.
"Sayang, tumben kamu kelihatan bahagia? Biasanya murung, kenapa?"
Sasya membelalakan mata, "Sayang?" Danendra membekap mulut Sasya.
"Apa kamu ngga kangen sama anak kita? Cepet pulih dong, biar kita datang ke makamnya bareng."
Sasya memberontak, "Lepasin! Gue ngga terima Om Malik bilang kayak gitu!"
"Tunggu dulu, kita perlu tau kebenarannya." cegah Danendra.
"Anak kita ada disini, sebentar lagi dia bakal pergi bersamaku. Akhirnya aku ketemu sama anakku, kamu juga harus cepet nyusul. Kalau kamu ngga buru-buru, aku dan anak kita yang bakal jemput kamu lebih dulu. HEHEHE! Kamu sakit ya nak, maafin ayah kamu yang kejam ini ya! Bentar lagi kita semua bakal bersama selamanya! SE-LA-MA-NYA! Hahaha! KAMU KALAH, SAYANG! HAHAHA!"
Terdengar gelak tawa wanita yang mengerikan, pasien gangguan jiwa itu ternyata ibu kandung Ramdan!
"Kurung dia!" perintah Malik pada perawat yang berjaga.
Lalu mereka merantai lengan dan kaki wanita tersebut sampai berhenti meronta-ronta, "Kukira sembuh! Ternyata lebih parah!" ujar Malik mengeluh.
Saat wanita itu akan dibawa ke ruangan isolasi, Sasya tak sengaja dicekal tangannya.
DEG!
"Terima kasih. Sudah menjaga anakku dengan baik, dia sangat bahagia punya adik sepertimu! Hahaha! Lihat Nak! Mama sudah menyampaikan pesanmu! HAHAHA!"
Badan Sasya bergetar hebat, rasa takut menggerogotinya sangat dalam. Perasaan kehilangan muncul dalam benak Sasya, ketakutan terbesarnya adalah kehilangan sosok Ramdan dalam hidupnya.
"Maaf ya Kak atas ketidaknyamanannya," ucap salah satu perawat, kemudian berlalu meninggalkan Sasya yang dirundung perasaan cemas.
"Kakak! Jangan tinggalin Sasya dulu! Kakak janji bakal jagain Sasya terus! Kak Ramdan harus sembuh!" teriak Sasya frustasi.
Dia ingat saat-saat menegangkan beberapa waktu lalu, dimana dia sendirian menunggu Ramdan yang sedang diambang kematian.
"Gue belum siap kehilangan kakak gue lagi."
Tes.
Air mata Sasya mengalir deras, membanjiri pipi dan membasahi baju yang dia pakai.
"Hei! Sasya! Sasya! Lo jangan bikin gue merinding dong! Sya?" Danendra mengguncang bahu Sasya agar gadis itu sadar.
"Gue takut, gue takut Ndra!" ucap Sasya begitu Danendra nampak dalam penglihatannya.
Danendra memeluk tubuh Sasya sangat erat, memberikan ketenangan dengan mengusap punggungnya yang masih bergetar hebat. Isakan yang kian terdengar kencang, Danendra semakin kewalahan.
••••
"Minum dulu air putihnya, lo tadi kayak orang kesurupan tau ngga. Tatapan kamu kosong, bilang takutlah, jangan tinggalin aku lah, sebenarnya ada apa Sya?" tanya Danendra yang langsung membawanya ke kantin rumah sakit.
Sasya masih termenung, jiwanya masih berada disana. Berharap semoga ucapan wanita itu hanyalah imajinasi belaka, toh dia wanita dengan gangguan jiwa.
"Gue takut, ucapan wanita itu benar Ndra." jawab Sasya lemah.
"Jangan dipikirkan, dia kan orang sakit mental. Mana mungkin omongannya benar," hibur Danendra.
DRT! DRT!
Ponsel Sasya bergetar nyaring, di layarnya tertera "Kak Dera" yang menelepon.
DEG!
Jantung Sasya berdetak tak karuan, bibirnya ikut gemetar ketika menjawab panggilan.
"Halo kak?" sapa Sasya ragu.
"Halo Sasya! Cepet pulang! Kakakmu kritis! Kata dokter Ramdan harus segera di operasi!"
"KRITIS?! YA TUHAN!"
Sasya berteriak histeris, dia langsung menarik-narik Danendra agar otw pulang sekarang juga.
"AYO NDRA! CEPETAN! MAMI! PAPI!" panik Sasya berjalan kesana kemari, Danendra memegang bahu Sasya.
"Tenangin diri kamu dulu, oke?"
Sasya mengangguk, namun dia tak berhenti menggigiti kuku jarinya.
"Kakak, jangan pergi dulu. Sasya mohon."
••••
TO BE CONTINUED
THANKS FOR READING
KAMU SEDANG MEMBACA
Penyatu Rasa [Selesai]
Romance⚠ CERITA LENGKAP ☑ FOLLOW SEBELUM BACA Danendra Ardana. Kehadiran lo dalam hidup gue bener-bener ngebuat gue bingung, kenapa lo jahat sekaligus baik? Banyak pertanyaan yang harusnya gue cari tahu kebenarannya, tapi lo ngga pernah menjadi satu sosok...