Rasa 50 - Kolot

75 6 0
                                    

Kini Sasya duduk di meja makan yang ukurannya lebih panjang, lebih besar, dan juga lebih ramai. Menunggu Malik pulang, rasanya seperti berpuasa berbulan-bulan. Sasya kelaparan, apalagi sejak siang belum menyentuh makanan sedikitpun.

"Sasya, Ibu kamu gimana kabarnya?" tanya Firda yang sudah bergabung sejak lima belas menit yang lalu.

"Baik kok, Tan. Cuma lagi sibuk sama kerjaan aja," jawab Sasya jujur.

"Dulu ibu kamu kalau ada masalah pasti curhatnya ke Kakak, kamu panggil aku Kak Firda aja dong. Aku belum nikah tau," ujarnya malu-malu.

"Heheh, oke kak Firda."

Dalam benak hati Sasya, kenapa seorang dokter spesialis kandungan seperti Firda belum menikah. Dari wajahnya jelas terlihat, usianya sudah matang untuk melepas masa lajang. 'Ah biarin! Prinsip orang beda-beda.'

"Saya sepertinya ngga asing sama wajah kamu, Nak. Kamu benar teman cucu saya?" terka Bachtiar pada Danendra yang sedang fokus makan.

"Masa sih Pak? Menurut saya, wajah ini langka deh."

"Ohok-ohok!" Sasya langsung tersedak mendengar ucapan Danendra. Pria itu jika dipuji akan semakin tinggi tingkat kepercayaan dirinya.

"Kalau ngga salah, Ardana? Kamu anaknya Ardana?"

Danendra hanya menanggapinya dengan senyuman, namun meja makan yang tadinya ramai kenapa jadi sehening ini?

"Kalau belum menikah, anak saya masih single. Siapa tau berjodoh..." usul Bactiar sambil menunjuk Firda yang duduk di sebelah Sasya.

"Hehe, kalau jodoh sih penginnya sama yang di samping saya Pak." tolak Danendra tegas.

"Ohok-ohok," Sasya kembali tersedak. Kali ini dia sampai harus memukuli dadanya.

"Kenapa sih Sya, lo makan ngga dikunyah dulu emangnya? Buru minum, gue ngga mau ya calon gue kenapa-napa," pria itu kemudian mengelap mulut Sasya dengan tisu.

"Gue bisa sendiri!"

Sasya merebut tisu itu, lalu menunduk dan mengelap mulutnya sendiri. Danendra menatap semua orang, dengan pandangan 'See, gue milik dia. Jangan jodohkan saya dengan yang lain.'

"Ehem, Papa gimana sih. Firda ngga mau ya dijodoh-jodohin. Harus berapa kali aku bilang Pa, aku mau fokus ke karir. Impian Firda belum tercapai semua, Papa yang ajarin kan buat ngejar Impian sampai dapat dulu baru ngurusin buat berkeluarga?" papar Firda runtut.

"Jangan dengerin omongan Kakekmu, Sya. Dia cuma gelap mata kalau tau ada cowok single yang kaya raya," bisik Firda pada Sasya.

"Iya Kak, ngga papa kok. Lagian aku sama Danendra cuma temen," timpal Sasya lirih. Namun masih dapat didengar oleh Danendra.

Pria itu melanjutkan makan dengan dongkol, padahal besar harapan Danendra agar Sasya mau bersandiwara seperti keinginannya.

••••

Usai makan malam, semua orang berkumpul di ruang keluarga. Sasya seperti sedang diintrogasi oleh polisi, hal-hal kecil pun ditanyakan oleh Neneknya, Tirta, dan juga Firda.

Sementara Danendra memilih untuk keluar, menyulut rokok yang ia bawa dengan alasan ingin mencari udara segar.

"Danendra Ardana, ucapan saya tadi tidak main-main. Apa kamu benar tidak menyukai anak saya? Firda, anak yang patuh. Jika dijadikan Istri, saya jamin dia tidak akan membangkang."

Padahal niat Danendra ingin sendirian, Kakek tua itu benar-benar mengganggunya. Danendra membuang puntung rokoknya, lalu menggilingnya dengan sepatu.

"Mohon maaf sebelumnya Pak, saya juga tidak main-main dengan ucapan Saya." timpal Danendra lalu duduk di gazebo rumah Malik diikuti oleh Bachtiar.

"Apa karena usia? Anak saya tidak terlalu tua, bisa dibilang usianya sangat pas untuk menikah. Huh apa jangan-jangan gadis itu yang sudah mengambil hatimu?" terka pria itu yakin, lalu melipat tangannya di depan dada.

"Bisa dibilang seperti itu, bisa juga tidak Pak. Karena perasaan seseorang bisa berubah sewaktu-waktu. Tadi, bukannya anak anda sendiri yang bilang ingin fokus dengan karirnya? Itu berarti dia ngga berminat Pak, saya ngga mau menikah dengan seseorang yang hatinya bukan sepenuhnya untuk saya." jawab Danendra membela diri.

"Kalau perkara hati, pasti lama kelamaan akan timbul rasa suka dengan sendirinya. Saya akan bujuk dia supaya mau menikah dengan Kamu, dia punya segalanya sebagai wanita. Mandiri, sukses, kurang apalagi?" kakek tua itu benar-benar gila. Bukankah Danendra sudah jelas menolak penawarannya?

Danendra tersenyum, "Tujuan saya kemari bukan untuk itu, Pak."

"Apa salahnya berkenalan?" potong Bachtiar semakin gencar. Danendra mulai jengah, senyum yang sedari tadi sengaja dibuat kini berganti sosok yang datar dan tegas.

"Bapak sendiri, apa sudah berkenalan dengan cucu anda?" pancing Danendra agar topik bahasannya kembali kepada inti.

"Saya tau, dia anaknya Anas. Anak yang sudah keluar dari kartu keluarga dua puluh tahun lalu, bahkan saya sudah menganggapnya mati."

Danendra memicingkan matanya.

"Anda belum belajar dari masa lalu ya? Karma itu nyata Pak, saya takut karmanya jatuh pada orang yang anda sayangi."

"Tahu apa kamu soal Karma, orang sepertimu hanya mampu menggertak dengan uang." kesal Bachtiar yang mulai terbawa emosi.

Danendra menyandarkan punggungnya, "Entahlah Pak, saya kesini hanya sedang membayar dosa saya pada cucu anda. Sasya gadis polos yang dipaksa dewasa sebelum waktunya, sejak kecil bahkan dia tak pernah mendapat kasih sayang dari siapapun. Kecuali kakaknya, Bachtiar Ramdan Saputra. Anak kandung Malik, cucu Bapak yang sudah anda anggap mati sekarang masih terbaring di rumah sakit tanpa ada yang menjaga."

"Malik bukan orang seperti itu kan Pak? Saya pikir, diktat dari Anda lah yang membuatnya menjadi laki-laki brengsek. Ambisi anda agar semua anak sukses sangat menekan mental mereka, hingga saat mereka melakukan kesalahan. Anda membiarkannya, lalu dia akan melakukan kesalahan yang lebih karena berpikir Anda akan melindunginya."

"Orang yang tumbuh dalam lingkungan seperti itu, akan menjadi sosok yang serakah, tidak mau mengalah, dan selalu beranggapan dirinya benar."

Bachtiar menatap Danendra lamat-lamat, lalu tertawa kencang. "HAHAHA! Dia bebas melakukan apapun yang dia mau sampai mimpinya terwujud, apa saya pantas menghalanginya?"

"Lalu bagaimana nasib Anas dan Istrinya, mereka juga berhak menggapai impiannya kan?" telak Danendra, dia tak bisa dikalahkan urusan debat mendebat.

"Anas hanya anak yang kurang bisa diandalkan, dia anak sulung tapi mencari istri yang mandul. Padahal sudah saya jodohkan dia dengan banyak wanita, dia anak pembangkang dan saya akan tetap membencinya sampai sekarang." elak Bachtiar.

"Kalau begitu, anda juga bukan tipe mertua yang saya inginkan. Pikiran anda kurang terbuka, sosok ayah yang harusnya adil pada anaknya malah seperti ini." sindir Danendra.

"Pelet apa yang gadis itu berikan, toh jika kamu tetap menikahi cucu Saya. Kamu akan jadi keluarga saya."

"Saya menyakitinya, lebih dari apapun. Saya akan menebusnya sampai dia mau memaafkan saya, jika benar dia jodoh saya. Mungkin saya akan menjadikannya ratu dalam hidup Saya, bukan KELUARGANYA!"

Bachtiar mendecih, pria seperti Danendra bukan tipe yang tidak enakan lalu mengiyakan keinginan lawan bicaranya. Sosok penjilat, penipu, bahkan perampok sekali pun Danendra sudah hafal betul trik kotornya.

••••

TO BE CONTINUED
PENYATU RASA!

Penyatu Rasa [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang