The Truth

7 3 0
                                    

Bangun-bangun, gue ada di sofa ruang tamu. Gue tiduran di paha mami. Di depan gue ada papi dan Aries. Mereka lagi balurin gue aromatherapy. Tiba-tiba datang Vena bawa satu gelas berisi air putih. Rasanya gue mau bangun dan maki-maki tentang apa yang gue temuin tadi, tapi badan gue masih lemes banget! Mukanya Vena bedaaaaaa banget sama yang waktu itu gue ketemu apalagi video call. Ancurrr banget mukanya Vena sekarang kayak udah gak ada isi jiwanya. Gue tau tatapan-tatapan itu yang pernah juga gue alami dan bahkan sedang gue alami. Dia merasa bersalah kah atas kepergian kakaknya? Baru merasa bersalah sekarang? Jeez! Gak guna!

"Ini minum dulu. Sekalian minum obat alergi kamu, Ven. Kulit kamu merah-merah." Papi keluarin tabung obat alergi gue dari tas. Pas gue mau ambil, tiba-tiba Vena lempar tabung itu terus dia teriak-teriak dan muter-muter sendiri. Aries langsung peganin Vena. INI ANEH BANGET!

"Hey, Vena, Vena! Kalem, kalem!"

"DON'T DRINK THAT TOO MUCH! YOU WILL DIEEEEE!!!" Dia nunjuk-nunjuk tabung dan obat alergi gue yang udah berserakan di lantai. HAHH?!!

"Why should I die? That's my alergic pills."

"TOO MUCH PILLS COULD MAKE YOU DIEE! NOOOO!!!!! YOU DON'T NEED TO DRINK THAT PILLS TOO MUCH!" Dia masih menggila sendiri yang membuat kita semua terheran-heran. Vena kayak memiliki traumatis yang sangat dalam akan hal ini. Jangan bilang ini ada kaitannya dengan kematian Arteri?! Apakah Arteri meminum obat anti depresannya sampe dia overdosis?! Terus tali gantung diri di pohon itu apa? Dan kenapa Arteri bisa kepikiran untuk memilih overdosis padahal kemungkinan terbesar yang bisa dia lakukan sesuai dengan kebiasaan dia adalah menyayat pembuluh nadinya? Dan bukannya terakhir itu obatnya di sita sama bapaknya? Kenapa dia bisa dapet obatnya? FUCKING TOO MUCH QUESTIONS!

"Was Arteri overdose?!" Vena menganggukkan kepalanya dengan sangat cepat dan masih menangis tersedu-sedu dipegangan Aries.

"WHY! HOW DID YOU KNOW?! WHEN DID HE DIE?! DOES YOUR MOM AND DAD KNOW?! AND HOW ABOUT THE ROPE ON THE TREE?!"

"They... they... they forced him to drink all the pills." WE ARE ALL SHOCKEDDDD!!

"WHATTT?!!!" Gue berdiri dari tiduran gue dan berhadapan face to face sama Vena.

"GIMANA MAKSUDNYA, VEN?!"

"Ka... Ka Arteri... mereka... AAAHHH!"

"INHALE, EXHALE, VENA! I KNOW IT'S HARD FOR YOU! BUT PLEASE TELL US CLEARLY!"

"Duduk dulu, Nak Vena. Duduk. Minum dulu minum. Istighfar...," suruh mami.

"Dia nonmuslim, Mi."

"Oh iya. Ya... tenang dulu, tenang." Vena duduk di antara gue dan Aries. Seluruh badannya gemetar. Gue benci banget sama dia, tapi liat kayak gini gue juga jadi gak tega. Pasti dia lebih terpuruk juga ya kakaknya bunuh diri. Jadi gue rangkul dia. Dia juga refleks langsung meluk gue dan nangis di pundak gue.

Setelah beberapa lama Vena mulai tenang, barulah dia memberanikan diri untuk cerita.

"Semenjak balik dari Nangor, Ka Arteri dikurung di kamar. Gak boleh keluar. Setiap saat mereka cuma bentak-bentak Ka Arteri. HP disita, semua barang pribadi disita. Aku yang megang hp Ka Arteri. Aku merasa bersalah banget sama dia. Aku gak berniat ngadu ke ibu bapak tentang apa yang dia ceritain ke aku, tapi waktu itu sempet ketauan dan mereka maksa aku buat cari tau lebih lanjut sampe akhirnya ketemuan dan jemput di Nangor. Aku merasa bersalah bangettt kenapa aku turutin mereka dan enggak melindungi Ka Arteri. Aku beberapa kali ke kamarnya buat minta maaf, tapi dia bilang bukan salah aku. Itu juga terbatas banget ketemunya. Ka Arteri cuma minta ambilin obat anti depresannya sama buku yang pernah dia pinjem dulu di perpustakaan Unpad. Terus... waktu hari Minggu, aku kebangun tidur tengah malam gara-gara denger suara berisik banget dari kamar Ka Arteri. Pas aku ke sana, ibu sama bapak lagi bentak-bentak Ka Arteri, tapi keras banget! Lebih keras dari biasanya. Kayaknya gara-gara mereka liat Ka Arteri baca buku itu sambil gelar kain kayak buat sholat. Ditanya pindah agama atau enggak, dia bilang iya. Dia udah pindah agama bahkan ketika dia pertama sampe di Makassar kemarin. Mereka bener-bener marah banget dan akhirnya bapak main fisik sama Ka Arteri. Dia nampar Ka Arteri dan bilang kalo Ka Arteri itu sebuah ekspektasi yang gagal. Pokoknya hal-hal yang gak pantas sama sekali untuk dibilang ke anak sendiri. Ka Arteri syok banget sampe gemeter, terus dia lari ke kamar mandi dan diikutin sama bapak. Aku ikut masuk ke kamar, tapi ketauan sama ibu dan aku ikut dimarahin ibu karena dikira ikut campur urusan mereka. Yang aku terakhir denger, Ka Arteri teriak-teriak manggil bapak dan minta maaf, abis itu dia mengeluarkan suatu kalimat pake bahasa Arab. Aku gak tau persis itu apa, tapi mulutnya kayak dipenuhi sesuatu. Tiba-tiba bapak teriak-teriak manggil ibu dan... dan... dia bilang dia gak sadar masukin semua pill di tabung itu ke mulut Ka Arteri dan memaksa Ka Arteri buat menelan semua itu sampe akhirnya mulutnya berbusa. Kita semua panik. Aku liat wajah Ka Arteri terakhir kalinya. Gak pernah liat muka dia secerah itu meskipun dalam keadaan udah pucat, berbusa, dan hampir gak bisa diselamatkan. Bapak mencoba buat telepon ambulan, tapi ibu terlalu takut menjadi pelaku pembunuhan secara tidak sengaja. Jadi ibu bilang kita bisa mengobati Ka Arteri sendiri. Ka Arteri dibawa ke kasur dan dikasih minum air kelapa. Bukannya sembuh, Ka Arteri malah berhenti bernapas. Kita semua terlambat memberikan pertolongan." FUCK FUCK FUCKKK!!! Vena cerita sambil nangis kejer banget dan gue apalagii!!! GAK NYANGKA BANGET KAYAK GINI AKHIRANNYA! MEREKA BUKAN CUMA MEMBUNUH MENTAL ARTERI, TAPI MEREKA LITERALLY MEMBUNUH RAGA ARTERI!

Arteri dan VenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang