Gue nangis sampe ketiduran sendiri. Bangun-bangun itu karena ada yang ngetok pintu. Gue liat jam itu sekitar jam setengah 3 pagi. Gak pernah ada yang ngetok pintu kamar gue jam seginian! Aduh, buka gak ya?
"Siapa?"
"Aul." Huft! Beneran suara dia sih. Gue buka aja kali ya? Takut penting.
Pas dibuka, ternyata beneran Aul. Ngapain dia sepertiga malem bangunin gue?
"Kenapa, Ul?"
"Ada yang nyariin lo tuh. Tadi dia ngetok-ngetok pintu utama. Karena gue masih nugas, belum tidur, jadi gue yang buka. Katanya nyariin lo."
"Hah? Siapa?"
"Cowok." MAMPUS SIAPA NIH? Arteri? Hanif?
"Gimana ciri-cirinya?" Si Aul bingung gue tanyain ciri-cirinya.
"Liat sendiri aja dah. Gue juga gak merhatiin jelas sih. Udah ngantuk haha."
"Okay... nuhun, Ul."
"Sipp. Gue balik ya." Aul balik ke kamar, sedangkan gue jalan pelan-pelan ke pintu utama. Kamar gue masih di lantai 1, tapi agak jauh dari pintu utama.
Sempet ngintip sebentar dari jendela samping pintu, bener kan ternyata itu Arteri yang ada di depan lagi duduk di motornya sambil megangin hp! DUHH! Ya udahlah gue bukain aja daripada kenapa-napa!
Ketika gue buka pintu dan keluar samperin dia, Arteri langsung turun dari motornya dan berjalan ke arah gue. Tiba-tiba dia peluk sambil nangis donggg!
"Eh, kenapaaa?" Gue yang bingung, tapi gak tau harus ngapain ya ikut peluk dia aja.
"Gua merasa bersalah banget udah marah-marahin lu tadi, Ven!" Aduh....
"It's okay. Udah lewat juga kok. Gue gak ambil hati. Gue tau lo cuma gak suka aja tadi. Guenya juga salah gak mau nurutin apa yang lo mau." Padahal semalem nangis sampe ketiduran~
"Gua bego banget, Vena!"
"Shhh, udah-udah. Ini nanti orang-orang pada takut loh denger suara nangis tengah malem. Lagian kenapa harus tengah malem sih? Kan pagi nanti juga bisa ketemu lagi."
"Gua gak bisa tidur, Ven. Ini terus muter di otak gua dan gua harus ketemu sama lu!"
"Ya udah iya. Kan sekarang udah ketemu. Gue juga udah gak mempermasalahkan itu. Udah ya? Lo balik sekarang aja ya. Udah mau pagi. Besok lo kuliah kan?"
"Gua gak enak badan, besok gak mau masuk dulu." Pas dia bilang gitu, gue lepas pelukannya, menarik tangan kirinya dan menggulung jaketnya ke atas. Bener aja, ada dua sayatan baru yang bahkan masih mengeluarkan darah di sana. Belum dilapisin handsaplast sama dia.
"Arteri, lo udah janji...." Sakit banget.... Gue lebih gak bisa tahan nangis sekarang daripada tadi.
"Arteries deserved it."
"But, venas don't deserve it, right? Kalo lo nyayat tangan lo, yang sakit bukan cuma arteri, tapi juga vena. Lo mau nyakitin gue? Kita ini kayak pembuluh nadi, Ri. Satu terluka, yang lainnya juga. I hurt when you hurt yourself."
"I'm sorry." Arteri menunduk menyesal, tapi gue gak yakin dia gak akan mengulangi ini lagi.
"Let's go in. I will heal you." Gue suruh Arteri masuk dan duduk di ruang tamu. Sebenernya ini kosan cewek yang hukumnya haram dimasukkin cowok, tapi ini darurat dan gue bisa bilang Arteri adalah saudara gue. Harusnya sih gak papa.
Gue ke kamar dan cari betadine sama kapas. Peralatan P3K gue gak serapih Arteri, berserakan dan tercecer di mana-mana jadi agak susah gue nyarinya.
Pas udah dapet betadine dan kapasnya, tiba-tiba Arteri udah berdiri di depan pintu kamar gue. ADUUHHHHHHH! KENAPA SIH YA. JANGAN GINI DEH!
KAMU SEDANG MEMBACA
Arteri dan Vena
RomanceKisah dua sejoli dengan latar belakang yang sangat bertolak belakang, akhirnya dipertemukan meski dalam kerumitan. "I bounded with you like arteries and venas. We have to work together for life." Arteri dan Vena bertugas untuk membawa darah, bukan r...