Arteries

8 2 0
                                    

Sesuai dengan saran Vena, kita langsung balik ke rumah. Ternyata bener aja pas kita masuk rumah, semuanya udah rapih. Masakan pun udah tersedia di meja makan. Wow...! Sekarang baru jam 4 sih, jadi masih ada sela waktu sebelum makan malam.

"Kita ada 2 kamar tamu. Om sama tante bisa tidur di kamar tamu yang bawah yang lebih besar. Ka Aries bisa tidur di kamar tamu atas. Ka Vena bisa tidur di kamar aku. Bebas mau sama aku atau enggak. Kalo gak mau sama aku, nanti aku tidur di kamar ibu bapak atau kamar Ka Arteri." Wait... gue salah fokus.

"Kamar Arteri di mana?" Aries liatin gue gitu pas nanya kamar Arteri.

"Deket tangga itu. Gak jauh dari kamar tamu yang di atas." Deket kamar Aries dong?

"Kamar kamu di mana?"

"Di atas juga, tapi agak jauh dari dua kamar itu."

"Udah, Ven. Kamu tidur sama mami papi aja," usul mami.

"Iya. Samaa kita aja. Kasurnya besar kan? Papi juga bisa tidur di sofa kok."

"Ya udah iya, Mi, Pi." Emang lebih aman deh tidur sama mereka aja.

Kita mandi dan beres-beres di kamar masing-masing. Setelah itu Vena ajakin kita makan bareng di ruang makan dengan makanan yang sudah siap tersedia. Ruang makannya mewah. Keliatan mereka emang orang kaya. Sayangnya gue gak merasakan adanya sedikitpun keharmonisan di sini.

"Makasih banyak ya, Om, Tante, Ka Vena, dan Ka Aries, udah mau temenin aku ketemu ibu bapak dan udah buat aku jauh lebih tenang dari sebelumnya."

"Alhamdulillah. Kita juga senang udah bisa bantu Nak Vena. Kamu yang sabar ya, sayang. Semua ini ujian."

"Iya, Tan. Aku juga mau minta maaf ya sama kalian semua kalau semasa hidup Ka Arteri banyak melakukan kesalahan bahkan yang cukup fatal." Ahh... gak mau bahas ini.

"Tenang aja, Vena. Aman kok." Gue menaruh tangan gue di atas tangan Vena sebagai bentuk dukungan buat dia.

"Aku mau minta tolong Ka Vena kasih tau ke prodi atau fakultas yah soal ini. Aku coba buat kasih tau tetangga dan keluarga aku."

"Siap, Ven. Besok aku chat ke fakultas. Kalo ada uang duka, transfer ke rekening kamu aja kali?"

"Aku gak mau pikirin itu sih, Ka. Kalo Ka Vena gak keberatan, boleh gak itu urusan Ka Vena aja? Terserah Ka Vena diapain uangnya. Soal pemakaman Ka Arteri juga di Jakarta aja gak papa, Kak. Percuma di sini gak ada siapa-siapa."

"Loh? Kamu kemana, Ven?"

"Aku mau lanjutin proses pengurusan dokumen aku buat berangkat ke Australi. Aku kan dapet beasiswa S-1 di sana." OH IYAAA! Ini kan yang buat Arteri dikasih uang jajan sama Vena karena dia dikasih 2x lipet!

"Oh iya! Itu gimana, Vena?"

"Harusnya udah jadi dan aku bisa berangkat, tapi ketunda seminggu ini bahkan hampir batal total karena aku gak bisa berpikir jernih. Sekarang aku baru mulai berpikir lagi dan itu tindakan yang tepat menurutku. Aku jauh dari ibu bapak, aku gak terperangkap dalam rumah dan kenangan pahitnya di sini, dan aku juga bisa memulai dunia baru kayak apa yang pernah Ka Arteri coba." Awwww, bener sih. Gue kalo jadi dia pasti lanjutin meskipun berat banget meninggalkan ini semua.

"Good choice, Vena."

"Bisa aku percaya Ka Vena? Tapi kalo cukup berat, aku bisa menyewa orang untuk melakukan ini. Kita juga harus mengurus akta kematian kan?"

"Gak papa, Ven. Mumpung aku lagi libur semester. Kamu bilang aja sama aku butuh apa. Kamu fokus sama studi kamu ke Aussie ya. Rencana berangkat kapan?"

"Sampai visanya jadi, aku langsung berangkat. Mungkin dua minggu dari sekarang."

Arteri dan VenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang