Karena di rumah Vena ada mobil, jadi kita naik mobilnya untuk pergi. Papi yang bawa mobilnya. Mami di jok depan. Gue, Vena, sama Aries di jok tengah.
Psikiaternya lumayan jauh dari rumah. Kita belum book jadwal pertemuan, tapi semoga dia lagi kosong sekarang. Gue pelukin Vena sepanjang jalan sambil nangis bareng. Kerasa banget dia baru bisa melampiaskan emosinya sekarang. Seandainya gue gak dateng ke sini atau telat datang ke sini, mungkin keluarga ini gak ada penerusnya.
Sesampainya kita di tempat praktek psikiaternya, kita langsung disuruh masuk sama resepsionis karena kebetulan lagi kosong. Kita berlima masuk semua ke ruangan haha. Nama dokternya itu Dokter Rishad. Dia juga kaget liat kita berlimaan masuk ke ruangannya.
"Wah, ada demo apa nih ramai sekali? Haha."
"Iya maaf nih, Dok."
"Gak papa dong. Santai aja. Siapa yang mau konsultasi? Atau mau konsultasi keluarga? Sebelumnya sudah pernah kah? Sepertinya saya baru liat."
"Kita ke sini... mau membicarakan soal Arteri Fernando. Arteri dulu sering ke sini kan?"
"Arteri... Arteri...." Dokternya berusaha mengingat-ngingat siapa itu Arteri. Loh? Berarti udah lama dong Arteri gak sama dia kalo dia sampe bisa lupa?
"Oh ya. Arteri. Apa kabar dia? Kalian keluarganya kah? Sepertinya bukan yaa? Haha. Dia terlalu banyak membicarakan keluarganya dulu, saya sampai tau detailnya meskipun belum bertemu langsung." JACKPOT!
"Ini ada adiknya, Vena."
"Vena. Hmm... kayak pernah denger nama Vena, tapi bukan cuma adiknya." Tapi kayaknya gak terlalu lama karena Arteri masih cerita soal gue.
"Saya juga Vena, Dok. Ravena Abigail Razvhana Jannet. Saya gak tau sih Arteri bercerita tentang saya bagaimana, tapi mungkin saya adalah Vena yang dokter maksud hehe."
"Loh? Bukannya kamu di Jakarta? Jauh sekali sampai ke Makassar?" Kita semua menunduk. Dokter Rishad tau ada yang salah dengan kita semua.
"Silakan duduk dulu yuk. Di sofa itu lebih luas." Kita semua duduk di sofa yang telah disediakan. Gue duduk di antara mami dan Vena. Kita berlima berhadapan dengan Dokter Rishad.
"Ada yang bisa saya bantu?" Ini gue yang ngomong nih? Vena kayaknya udah kehabisan energi dan emosi untuk ini. Okelah, Ri. Gue memperjuangkan apa yang seharusnya gue perjuangkan ketika lo masih hidup.
"Arteri sudah meninggal hari Minggu kemarin, Dok--"
"Turut berduka cita.... Jika bisa bercerita, ada apa yang terjadi dengannya?"
Gue menoleh ke Vena untuk meminta persetujuan akan kisah nyata yang terjadi. Vena belum bilang ke siapa-siapa tentang kenyataan ini kecuali kita berempat.
"Arteri overdosis antidepresan, tapi itu bukan kehendaknya. Bapak Arteri mencekokkan obat itu kepada Arteri karena murka besar Arteri memutuskan untuk pindah agama. Ibunya Arteri juga gak mau kena masalah dengan membawa Arteri ke rumah sakit. Dia mau merawat Arteri sendiri di rumah. Sayangnya itu bukan tindakan yang tepat dan mereka semua terlambat. Arteri gak bisa bertahan."
"Astaga, Tuhan. Kenapa Arteri mau pulang ke Makassar? Setau saya dia gak mau balik lagi ke Makassar setelah dia ada di Jatinangor." Nah ini yang bikin gue gak kuat. Gue gak tau gimana caranya cerita. Bagian ini kesalahan gue dan ada campur tangan gue. Seandainya gue sama Arteri enggak kayak gini, ini gak terjadi! Gue gak bisa cerita dan cuma bisa nangis sambil peluk mami.
"Yuk, Vena bisa yuk. Sabar ya, sayang. Ini buat Arteri juga kok supaya dia bisa lebih tenang dan kita juga lebih ikhlas."
"Gak papa, Vena kalau kamu gak bisa cerita sekarang dan masih sakit. Itu sangat wajar kok. Kamu bisa cerita sama saya kapan saja. Kita punya banyak waktu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arteri dan Vena
RomanceKisah dua sejoli dengan latar belakang yang sangat bertolak belakang, akhirnya dipertemukan meski dalam kerumitan. "I bounded with you like arteries and venas. We have to work together for life." Arteri dan Vena bertugas untuk membawa darah, bukan r...