The Reality

11 2 0
                                    

Pulang dari dokter, kita makan siang dulu. Vena ajakin kita ke tempat makan yag suka Arteri datengin dulu. Ini menyakitkan juga mengingat kenangan indah Arteri.

"Aku sama Ka Arteri gak sedeket itu juga sih. Dia itu agak dingin, tapi aku tau dia mau mencoba deket sama aku. Mungkin akunya juga dulu terlalu sibuk."

"Arteri pernah bilang sama aku kalo kamu itu tipe yang nurut ke bapak ibu kamu. Jadi gak terlalu merasa tertekan kalo ekspektasi mereka tinggi. Seenggaknya gak tertekan dia."

"Iya soalnya... yang pertama, kayak apa yang aku ceritain di dokter tadi. Ekspektasi ibu bapak ke Ka Arteri itu sangat besar, tapi berbanding terbalik sama kepribadian Ka Arteri yang ternyata gak cocok sama gaya didik mereka. Jadinya Ka Arteri tersiksa, mereka berdua juga semakin hopeless gitu. Terus yang kedua, mungkin kepribadian aku juga nurut-nurut aja sih. Ada lah pasti tekanan besar dari mereka, tapi yang ada di otak aku itu karena mereka mau aku sukses, aku bahagia, aku bisa mencapai mimpi aku. Tapi setelah kejadian ini... aku gak akan memandang mereka sama lagi sih." Pasti dia trauma berat.

"Selama satu minggu ini kamu sendirian, Nak Vena?"

"Iya. Kadang ada mba ART yang beresin rumah, tapi aku suruh pulang. Tiap mereka dateng, aku suruh pulang. Aku gak mau diganggu siapa-siapa. Aku tidur di kamar Ka Arteri. Berharap dia ada di sini dan kita bisa bonding kayak pas lagi chatting-an itu. Gak pernah kita se-bonding itu. Bahkan physically bonding juga jarang banget." Ahhh, terasa banget penyesalanya.

"Arteri di sana bakal sedih kalo liat kamu sedih terus, Ven."

"Ka Vena juga sedih terus kan? Ini wajar kan? Pertemuan terakhir kalian pasti intim dan dalem banget sebelum aku dateng." Oh shit.... Jangan pernah bahas itu lagi.

"That's the worst thing, Vena. Aku berharap pertemuan terakhir kita gak sehina itu."

"Ka Arteri juga pasti merasakan hal yang sama."

"Vena, kamu selama seminggu ini udah mengunjungi ibu bapak kamu?"

"Belum, Tan. Aku gak siap melihat alasan terbunuhnya kakak aku." Kalo gue jadi dia juga pasti gue benci sama orang tua gue.

"Pasti susah sih, Nak Ven. Pelan-pelan ya? Mereka gak ada niat untuk melakukan itu. Toh mereka juga udah dapet karmanya langsung kan? Mereka bakal tambah sedih lagi pasti kalo anak mereka satu-satunya gak mau anggap mereka orang tua lagi. Mereka pasti udah memberikan yang terbaik ke kamu meskipun gak sempurna. Bukan mau membela pelaku, tapi mereka melakukan itu kata dokternya kan karena bisa jadi trauma atau masalah masa lalu mereka juga belum selesai. Kita selesaikan sama-sama. Tante sebagai orang tua juga sangat mengerti perasaan bapak ibu kamu. Sedih rasanya liat anak kita disakiti. Apalagi yang menyakiti kita sendiri, pasti sangat menyesal. Mereka butuh sekali dukungan moral dari kamu." Vena nangis dan masih belum bisa memutuskan apa-apa.

"Kita pulang dulu aja. Beresin rumah. Siapa tau kalo rumahnya udah beres, kita bisa semakin plong pikiranya. Telepon si mbanya aja dulu." Vena mulai berpikir keras.

"Ya udah. Aku suruh mba ART beresin rumah. Kita ke rumah sakit bapak dan ke rumah sakit ibu. Biar pas pulang, rumahnya udah rapih." Kita semua tersenyum haru akhirnya terketuk juga pintu hatinya. Pasti sulit banget buat dia memutuskan hal ini.

"Alhamdulillah."

Kita siap-siap ke rumah sakit bapaknya dulu. Lumayan sih dari sini. Vena juga gak terlalu tau lokasinya jadi kita ikutin arahan Google Maps. Dari awal dibawa ke rumah sakit, Vena gak pernah jenguk bapak ataupun ibunya. Bener-bener lepas gitu aja.

Di rumah sakit, Vena langsung ke meja informasi dan ditunjukin sama susternya ke ruangan bapaknya. Ruangannya VIP, cuma satu orang di sana. Bapaknya lagi sendirian aja di dalam sana.

Arteri dan VenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang