2

2.2K 241 8
                                    

Malam ini menjadi malam yang panjang bagi Seokjin, walau ia hanya menempuh waktu 5 jam setiap hari namun tetap saja terasa lama. Bekerja di sebuah karaoke Bar sebagai pelayan membuatnya terpaksa melihat hal yang tidak ia inginkan. Banyak lelaki tua dengan gadis muda, atau bahkan wanita tua dengan pria muda, pasangan sejenis juga tidak jarang. Seokjin tetap profesional, ia rasa bayaran disini setimpal dengan apa yang ia lakukan.

"Permisi tuan," ucap Seokjin seraya meletakkan minumab dengan kacang-kacangan di meja salah satu room privasi milik bar tersebut.

Lelaki dan perempuan yang duduk disana memandang Seokjin dengan mata yang aneh, lelaki itu mulai menghembuskan asap beracun dari rokok yang ia hisap.

"Kenapa kau memakai masker? Apa kau menghina kami?"

Seokjin hanya diam dan menunduk "Maaf tuan, saya intoleran dengan asap rokok."

Lelaki itu pun berdiri dan mendekat kearah Seokjin "Aku tidak peduli, yang aku tanyakan apakah kau menghinaku? Lepas masker bodohmu itu atau aku akan membuatmu berhenti bekerja disini!!"

Suara yang lantang itu cukup membuat pemilik bar mendatangi mereka dan menanyakan apa yang terjadi. Seokjin hanya terdiam ketika lelaki tua tadi memakinya habis-habisan.

"Urus anak buahmu. Aku tidak percaya bar ini merekrut pemberontak seperti dia."

"Maaf tuan. Biar aku yang urus dia," ucap pemilik bar sambil menatap Seokjin sinis. Ia langsung mengisyaratkan Seokjin untuk pergi dan mengikutinya. Tentu saja mau tidak mau Seokjin menurutinya.

Ditempat inilah mereka berada. Di ruangan dengan suhu rendah dan dikelelilingi beberapa bungkus makanan siap saji. Tidak ada siapapun kecuali Seokjin dan pemilik Bar.

Belum sempat Seokjin membuka pembicaraan, berniat meminta maaf. Masker yang ia kenakan sudah ditarik paksa sampai putus dibuatnya.

"Aku harap ini peringatan pertama dan terakhir untukmu, Kim Seokjin. Berhenti memakai masker itu atau kau akan membuatku bangkrut dalam waktu singkat!"

Seokjin kian menunduk dalam "Maaf, Pak."

PLAKK

"Kau pikir aku puas dengan maafmu? Semua orang mampu mengatakannya, namun kau harus kubuat jera."

Lelaki itu melangkah lebih dekat dengan Seokjin, memandang rendah dirinya lalu tanpa ragu ia menendang perut Seokjin sampai punggungnya menabrak tembok dibelakang.

"Ukhuk!!"

Seokjin terbatuk keras sambil memegang perutnya yang panas. Ia melihat bagaimana pria itu mendekat dan mencengkram kerahnya.

"Peringatan ini seharusnya cukup," ucapnya sambil mencampakkan wajah Seokjin kesamping lalu pergi meninggalkannya sendirian.




...






Malam yang panjang dan juga berat dialami oleh Seokjin seorang diri, namun ketika ia pulang. Sosok itu berubah menjadi lelaki hangat dalam bentuk seorang Kakak yang harus bersikap kuat dihadapan adik-adiknya.

Dengan menenteng tas berisi cemilan dan juga makan malam ia memasuki kediamannya perlahan. Walau demikian, Jungkook akan mudah menyadari kehadiran Seokjin. Ini hal biasa, ia akan terbangun ketika pukul 2 pagi saat Seokjin pulang bekerja dari pukul 8 malam tadi. Sebelum berangkat, Seokjin selalu membuat Jungkook tertidur terlebih dahulu dan mengunci pintu dari luar. Seokjin tidak mampu untuk menyewa pengasuh anak, uang yang ia dapat hanya untuk makan dan biaya sekolah mereka.

"Hyuuunggg.." teriak anak itu dari dalam kamar sambil berlari mendekat.

"Eoh? Jungkook tidak tidur?" Herannya karena Sang adik terlihat lebih segar.

Jungkook tidak menjawab, ia hanya memandang dengan mata bulatnya pada kantung kresem yang Seokjin bawa.

"Jungkook lapar.."

Seokjin paham, ia pun membuka kresek itu sambil berjongkok. Sedikit meringis karena luka perutnya yang tertekuk.

"Waah Odeng!!" Ucapnya antusias sembari menarik tusukan odeng disana lalu memakannya tanpa ragu.

Rasa lelah Seokjin seketika menghilang melihat betapa bahagianya sang adik malam ini.

"Hyungie, Mam!!"

Jungkook menyodorkan odeng itu tepat di depan wajah Seokjin.

"Aaaaa.."

Seokjin tersenyum lalu melahapnya sedikit.

"Hmm.. enak kan Hyung?"

"Enak sekali. Habiskan ya? Hyung mau mandi dulu."

Jungkook mengangguk dan mulai memakan satu persatu makanan itu.

Seokjin yang sudah berdiri hendak pergi ke kamar mandi terhenti sejenak melihat beberapa barang diatas meja ruang tamu. Ia mendekat kesana membuka 2 kotak besar yang ternyata berisi mainan anak laki-laki. Seokjin langsung menoleh pada Jungkook.

"Jungkook, ini mainan darimana?"

Jungkook pun menoleh "Dari Ugi Hyung!"

Seokjin langsung mengepal kuat dan membara mainan itu "Hyung simpan ya mainannya, supaya tidak rusak."

Ia hendak pergi meninggalkan Jungkook namun anak itu mencegahnya menahan Seokjin dengan tangan mungil.

"Ani! Hyung selalu membuang mainan dari Ugi Hyung."

"Tidak, Hyung hanya akan simpan."

"BOHONG! Hyung suka buang mainan. Jungkook suka Jungkook tidak mau mainan dibuang. Kembalikan!"

Jungkook langsung mengambil alih mainan itu dan memeluknya erat seolah melarang keras Seokjin supaya tidak mengambilnya.

"Hyung tidak bisa beli mainan. Jangan ambil mainan Jungkook!"

Seokjin terdiam. Kenyataan yang menyakitkan membuatnya tertampar keras. Anak kecil seperti Jungkook yang seharusnya bermain dengan hal-hal baru justru harus hidup dalam kesederhanaan dengannya.

Seokjin terluka, ia meneteskan air matanya dan langsung menyeka dengan ujung jari telunjuk.

"Hei, Hyung minta maaf. Nanti jika Hyung sudah dapat gaji bulan ini, Hyung janji akan membawamu ke tempat mainan banyak."

Perlahan Jungkook yang semula memunggungi Seokjin pun menoleh.

"Hyung bohong! Pasti nanti uangnya habis buat beras!"

Seokjin kira Jungkook akan luluh namun ternyata tidak. Ia tahu ia sudah banyak membohonginya, namun apalagi yang bisa ia lakukan selain itu?

"Jungkook dengarkan Hyung--"

"Tidak. Jungkook mau simpan ini, supaya Hyung tidak buang lagi. Hyung pelit! Tidak seperti Ugi Hyung!"

Jungkook langsung melangkah pergi menuju kamarnya sambil memeluk mainan itu.

Seokjin menunduk dan memandang kuku jarinya yang indah. Pandangannya memburam akibat genangan air yang tertahan. Perlahan mereka jatuh menetes bersamaan dengan punggungnya bersandar pada badan kursi.

"Sampai kapan aku harus seperti ini?"












To be continued...

Perjuangan Seorang KakakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang