Seokjin tidak tahan berada disini. Ketika ia bangun untuk kedua kali, semua benda yang melilit tubuhnya ia lepas secara paksa. Tidak peduli dengan rasa sakit yang ia rasakan. Seokjin hanya ingin pulang, adik-adiknya pasti khawatir menunggu kepulangannya.
Ia mengibas selimutnya lalu duduk sejenak dipinggir ranjang, menyiapkan tenaga untuk keluar dari sini. Ia turun perlahan dengan tangan yang menumpu pada tiang infus.
"Jin, apa yang kau lakukan?" Teriak Namjoon ketika ia masuk sudah disuguhi Seokjin yang hendak pergi.
"Aku pulang. Mereka menungguku."
"Jangan keras kepala Seokjin. Keadaanmu belum baik."
"Aku tidak peduli. Menyingkirlah."
Seokjin mendorong Namjoon jauh-jauh dengan sisa tenaganya. Ia terpaksa menyingkir dan melihat perjuangan Seokjin hanya untuk sampai keambang pintu. Namjoon tidak tahan dengan sikap Seokjin yang ia anggap egois dan tidak menyayangi diri sendiri. Alhasil ia menyusul Seokjin menarik tangannya agar berbalik.
"Kenapa kau begitu keras kepala? Apa kau tidak berpikir kalau kau justru membuat mereka bersedih?"
"Apa kau juga tidak berpikir bahwa mereka menungguku? Apa kau mengerti bagaimana rasanya hidup susah tanpa orang tua? Berhenti menganggap dirimu paling benar Namjoon. Aku tidak pernah meminta kau untuk menolongku."
Bak tamparan keras menghantam pipinya, Namjoon mengendurkan genggamannya pada Seokjin. Ia bisa melihat pria itu begitu marah.
"Maaf."
Namjoon lalu membiarkan Seokjin pergi keluar dari ruang rawatnya. Ia memutuskan untuk tetap diam. Walau ia banyak takutnya. Namjoon merasa perbuatannya tidak salah, namun jika Seokjin sampai marah besar seperti ini. Ia rasa Seokjin mungkin punya pola pikir yang berbeda.
...
Seokjin tidak percaya ia sudah membentak orang yang menolongnya. Rasa sesal menyeruak. Merutuki kebodohannya yang tanpa sadar pasti melukai hati Namjoon. Satu-satunya teman yang ia miliki.
Berbekal uang sedikit yang kebetulan berada dipakaian ganti yang sebelumnya ia pakai, Seokjin pulang menggunakan angkutan umum. Hawa dingin menusuk dadanya yang hanya terbalut kaus tipis dan celana selutut. Di dalam angkutan umum, ia memeluk tubuhnya karena hawa dingin yang tidak main-main. Entah karena kulitnya terlalu dekat dengan tulang atau karena hari menjelang malam.
Ia sampai di jalan menuju rumah. Turun dari mobil, membayar argo dan mencari tempat duduk untuk beristirahat sebentar. Ia masih harus berjalan ke rumah dan tenaganya sudah hampir habis. Ia mengusap peluh di dahinya. Walau berkeringat namun Seokjin justru kedinginan.
"Semangat Seokjin," ucapnya pada diri sendiri lalu melanjutkan perjalanannya.
Banyak hal yang Seokjin pikirkan. Apalagi pada kedua anaknya. Dia belum juga lulus sekolah dan mendapat pekerjaan layak, namun tubuhnya sudah enggan diajak kompromi. Bagaimana nanti jika ia tiba-tiba menghilang tidak kembali, siapa yang mengurus mereka? Seokjin harus sembuh untuk kedua adiknya, disisi lain ia juga harus mencari uang untuk kehidupannya. Sayang sekali, Seokjin hanya bisa mengambil satu pilihan.
Ia sampai di rumah. Mengangkat tangannya hendak mengetuk pintu. Namun suara tangis Jungkook terdengar dari luar. Seketika ia panik dan masuk langsung ke dalam rumah.
Benar saja, Jungkook menangis hebat memanggil nama 'Jin Hyung' di pelukan Yoongi.
"Jungkookie.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjuangan Seorang Kakak
FanfictionSeokjin yang hanya hidup bertiga dengan dua adiknya. Tanpa orang tua Bahkan menjadi tulang punggung keluarga. Seokjin juga seorang pelajar yang menyambung hidupnya sebagai pekerja keras tulang punggung keluarga. Bukan hanya memikul kewajibannya se...