21

1.2K 171 29
                                    

Lampu ruang rawatnya tampak menyilaukan, seolah paham perubaban cahaya yang belum lama terjadi. Matanya terbuka melihat sekeliling, ternyata hari mulai pagi. Sinar matahari hangat menyorot dari arah luar jendela perlahan menghangatkan tubuhnya.

Ia masih enggan bangun dari tempat tidur walau tenggorokannya mulai kering karena butuh air.

Jakunnya menelan ludah yang kental di iringi mata melirik ke samping dimana seseorang tengah tertidur pulas diatas sofa.

Tempat ini jauh lebih nyaman dibanding Instalasi Gawat Darurat sebelumnya. Memorinya kembali saat dimana ia dipaksa meminum obat sampai degup jantungnya 10 kali lebih cepat, sampai ia sadar dan dipaksa kembali dengan benda asing masuk kedalam lambungnya.

Seokjin memeluk perutnya sambil bergerak tidur menyamping.

Matanya menetes mengingat semua kalimat dan rasa sakit malam tadi. Ia tidak tahu apa yang lebih baik, menikmati rasa sakit sampai melupakan segalanya, atau mengingat semuanya ketika rasa sakit perlahan pergi. 

"Seokjin?"

Suara itu sontak membuat Seokjin menoleh, Namjoon melihat sorot nata Seokjin yang penuh luka disana.

"Namjoon.."

Ia bangun langsung memeluk Namjoon erat.

"Sakit sekali.."

Namjoon mengusap punggung Seokjin yang bergetar.

"Akan ku panggilkan dokter," hampir ia melepas rengkuhannya namun Seokjin menggeleng sambil mempererat pelukan itu.

"Aku tidak butuh. Aku hanya ingin semuanya selesai."

Kalimat penuh keputus asaan begitu kentara. Namjoon tidak berniat menjawabnya, Seokjin pasti akan bercerita jika sudah begini.

"Andai kedua orang tuaku ada, andai aku tidak penyakitan, andai aku lahir menjadi orang kaya."

Namjoon kini menjadi pendengar semua bentuk protes Seokjin pada dunia.

"Bukankah jika kedua orang tuaku disini, aku tidak perlu ragu kalau mati?"

Namjoon tidak suka ini. Ia ingin berbicara namun Seokjin memotongnya.

"Sakit. Semuanya terasa menyakitkan. Fisik dan batinku. Mereka tidak membiarkan aku hidup dengan tenang."

Seorang Seokjin yang akan berusaha baik-baik saja kini berubah. Pengalaman buruk itu membuatnya tersadar bahwa hidupnya terlalu rumit untuk dijalani.

"Aku ingin mati."

"Seokjin--"

"Tapi mereka membutuhkanku kan? Mereka tidak punya siapa-siapa selain Hyungnya, tapi aku tidak punya siapapun untuk membantuku bertahan."

Namjoon ingin berteriak bahwa dia akan disini menjadi teman dan penolongnya, namun ia tahu, Seokjin membutuhkan sosok lain. Yaitu keluarga. Tempat dimana kau bisa meminta, menagih dan bersandar tanpa ada keraguan.

"Apa aku harus terus seperti ini? Aku akan mati cepat atau lambat, Namjoon ah. Bagaimana? Bagaimana mereka hidup jika aku mati--"

"Jin kau tidak akan mati! Kau akan tetap disini bersama adik-adikmu. Jangan bicara sembarangan!"

Namjoon melepas pelukan itu menangkup wajah Seokjin dengan kedua tangannya. Mata, hidung dan pipi Seokjin memerah akibat menangis.

"Aku bukannya bicara sembarangan, aku hanya mengatakan sebuah fakta. Lagipula, Yoongi membenciku, dia tidak suka hidup seperti ini."

"Tidak mungkin! Yoongi bahkan selalu memandangmu dari jauh, tidak pernah melepaskan matanya dari wajahmu."

Seokjin menurunkan tangan Namjoon lalu memalingkan wajahnya.

Perjuangan Seorang KakakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang