29. Insiden

2.8K 304 52
                                    

Waktu berlalu dengan cepat. Seminggu telah terlewati saat ini Rachel memiliki Visa untuk berangkat ke Jerman dilengkapi dengan passport dan tiket di tangannya. Rencananya mereka akan naik pesawat kelas bisnis selama kurang lebih 14 jam. Rute dari Jakarta kemudian transit di Singapore lalu tiba di kota duesseldorf. William ingin Rachel menikmati keindahan kota tersebut sebelum melanjutkan perjalanan ke Frankfurt.

Rachel akan berangkat sendirian dengan taxi ke bandara kemudian William akan menyusulnya dari kantor. William harus berhati-hati sampai akhir dan tidak boleh menimbulkan kecurigaan orang tuanya. Jam di dinding terasa lama sekali. Hingga akhirnya alarm yang dipasangnya berbunyi. Barulah Rachel menelpon untuk memesan Taxi. Tak lupa ia mengabari William, sepertinya tidak akan ada masalah. William juga tengah bersiap-siap menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta.

Rachel menggigit bibirnya dan gelisah di sepanjang perjalanan menuju bandara. Butuh waktu 2 jam untuk tiba. Jalanan juga tidak terlalu macet namun entah mengapa perasaan tidak enak terus menggelayut di pikirannya.

Ia terus mengirim pesan singkat kepada William dan syukurlah tampak seperti tidak ada halangan. William sedang bersiap-siap menyusul dirinya sekarang.
••••

"William sudah berada dalam perjalanan ke bandara sekarang. 10 menit lalu sudah meninggalkan kantornya." Pak Panca mengabarkan kepada Jevano lewat panggilan telepon selular. Sementara Jevano sedang menyetir mobil dalam perjalanan pulang kerumahnya."

"Ah. Hari ini tiba juga. Hari dimana aku bisa melepaskannya ke tangan yang tepat." Ucap Jevano.

"......"

"Are you fine?" Pak Panca selalu menganggap Jevano seperti anak sendiri.

"Bohong kalau Aku bilang, i'm fine." Jevano tersenyum pahit.

"Mereka saling mencintai. Yang perlu kita lakukan adalah merelakan dan berharap mereka berbahagia hingga akhir hayat. Ini jalan terbaik, Kamu 100 persen bisa fokus pada Jesse dan anakmu sekarang."

"i know.."

Jevano disambut oleh Jesse seperti biasa. Jesse memperhatikan raut Jevano yang tampak lesu. Meski Jevano masih mencium keningnya, makan malam bersamanya, mendengarkan ceritanya dengan baik. Jesse merasa Jevano sedikit murung. Sehabis makan malam mereka Jevano juga tidak langsung berisitirahat atau berdiam di ruang kerja seperti biasanya.

Jevano memilih menenangkan diri dengan berolahraga di gym pribadi rumah mereka. Sampai akhirnya ia mendapat kabar bahwa Pak Panca mengecek tidak ada nama William ataupun Rachel di manifest penumpang maskapain yang rencananya akan menuju Jerman. Pak Panca kemudian mengirim orang untuk mengecek keberadaan Rachel di apartemen lamanya dan penthouse baru Jevano namun ia tidak bisa menemukannya. Pak Panca baru saja menyampaikan hendak mengutus seseorang ke Bandara namun Jevano langsung memutus sambungan telponnya.

Jevano tidak sabaran. Jika Rachel belum pulang artinya ia sudah menunggu di bandara kurang lebih 5 jam. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Gadis bodoh itu. Apa dia masih menunggu disana??

Jesse baru saja akan mengantarkan air mineral dan handuk, kala berpapasan dengan Jevano yang terlihat terburu-buru. Mukanya terlihat panik.

"Ada masalah apa?" Tanya Jesse heran.

"Nanti aku jelasin ya, i'm in hurry." Ucap Jevano yang terlihat buru-buru dan langsung mengenakan celana dan jaket olahraganya.

Hal apa yang membuat Jevano sepanik itu? Bahkan sampai terburu-buru. Jevano juga melewatkan mencium kening Jesse seperti biasa saat ia hendak berpamitan pergi.
••••

••••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
TRAUMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang