#3. IQ di atas rata-rata

15 6 0
                                    

Hujan rintik turun di pagi hari ini, menghadirkan dingin dan rindu. Laki-laki berhoodie hitam itu merindukan peluk kan hangat Anara. Sangat berharap kejadian itu terulang kembali di pagi ini.

Sudah dua hari ini keduanya tak bertemu atau sekedar berpapasan pun tidak, Anara seolah hilang. Rian rindu, sangat rindu pada sosok Anara yang bagai musim semi setelah turunnya salju.

Samar-samar ia mendengar sapaan kemarin lusa, Anara berada di ujung koridor, berlari kepadanya. "Hai kak Rian!" Nafasnya terengah.

"Hai juga Anara," balasan dari sapaan itu sudah ia latih di depan cermin sejak Anara menyuruhnya. Tak lupa senyuman manis, semanis janji ayang pun mengembang. Anara baru menyadari lesung yang ada di sebelah pipi kiri Rian.

"Mau langsung ke kelas?" Anara hanya mengangguk.

"Tapi anter aku dulu yuk, aku ada perlu ke kelas, nanti aku anterin kamu ke kelas kamu," entah sihir apa yang membuat Anara mungut-mungut saja.

Menggengam tangan gadisnya, ia membawa Anara menuju kelasnya. "Dingin banget pagi ini," keluhnya. Jika mengikuti itung-itungan musim, memang sekarang belum masuk musim penghujan.

Anara membenarkan, "iya, tumbenan juga hujan pagi-pagi. Padahal bukan musim hujan," Rian tersenyum sambil memakaikan tudung pada hoodie pink baby milik Anara.

"Jangan sampe flu," Rian mengeluarkan sebotol lemon tea yang bundanya buatkan tadi. Ia meminta di buatkan dua, secara terang-terangan ia bilang pada bunda Riasya Senjanya kalau ia sedang mendekati seorang gadis.

"Makasih.."

Mereka sampai pada kelas Rian yang terlihat sudah di padati banyaknya siswa-siswi, padahal ini masih terbilang sangat pagi bahkan di kelas Anara pun belum ada siapa-siapa mungkin.

Kedatangan mereka tentu menjadi pusat perhatiian anak-anak kelasan Rian. Baru pertama kali mereka semua melihat Rian membawa gandengan, Janu saja yang sudah mengenal Rian sejak menjadi embrio sempat mengira Rian gay karna tak kunjung mendekati wanita atau sekedar suka pun tidak. Laki-laki itu malah awet sekali menempel dengan Janu, Janu yang menyandang predikat yang sama dengan teman seperjuangannya tentu dianggap gay juga oleh orang-orang sekitar.

"Duduk di sini," Anara duduk di barisan ketiga bangku nomer dua. Di sebelahnya ada Janu yang sedang bermain game dengan musik yang samar terdengar oleh telinga Anara padahal dia sedang memakai aerphone. Sekeras itu kah? Hingga terdengar indra pendengaran lain?

"Bunda nyuruh lo ke rumah gue pulang sekolah nanti," Anara terheran. Bagaimana bisa Janu menyadari kehadiran Rian?

"Peringatin si sinting Vivi buat ada di radius lima ratus kilometer dari gue," nada dinginnya menyebarkan suasana mencekam di dalam kelas.

"Oke."

Entah apa yang Rian perbuat di belakang sana, tepatnya pada lokernya. Anara memerhatikan sekitar, lalu tertarik pada dua gadis yang sedang beradu argumen saat mengisi pekerjaan rumahnya.

"Kak Rian..." lelaki itu membalikan badannya saat mendengar suara lembut Anara menyerukan namanya.

"Buku PR kak Rian mana?"

"Cari aja di tas." Anara membuka tas Rian. Di sana ia membuka buku PR milik laki-laki itu. Anara sempat menduga bahwa Rian mungkin seperti badboy pada umumnya, yang hanya sekolah membawa tas kosong atau bahkan tak membawa apapun, namun ternyata tidak.

Anara mencari PR Rian, ia tertarik untuk mengisinya. Tak butuh waktu lama, bagai menyalin jawaban teman sebangku, hanya waktu 10 menit yang Anara butuhkan untuk mengisi PR matematika milik Rian.

"Nanti bukunya jangan lupa di kumpulin ya?" Rian mengangguk.

Mereka seolah tak percaya melihat hiu banteng itu mendadak menjadi dolphin penurut. Perempuan yang tadi berdebat ternyata memperhatikan Anara, ia mencibir Anara yang sok pintar.

Impian Untuk RianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang