#46. Curiga

8 3 0
                                    

Hari ini ujian kenaikan kelas akan di ada kan, ujian berlangsung selama dua minggu. Satu minggu untuk ujian tertulis, dan satu minggu untuk ujian praktik.

Anara sudah tidak kuat berjalan, ia harus menggunakan kursi roda jika ingin bepergian, untung saja banyak orang yang bersedia di repotkan oleh Anara. Namun pemandangan itu tak luput dari pengelihatan Rian, laki-laki itu panik bukan main saat melihat Anara dalam kondisi yang tak lagi sama saat keduanya bertemu.

"Anara!" Rian menghampiri Anara dan berjongkok di depan wajah gadisnya.

"Hai kak Rian!" Sapa Anara.

"Kamu kenapa? Kenapa harus pake kursi roda kaya gini? Badan kamu juga kurus, kamu sakit?"

"Aku baik kak Rian, kemarin baru jalanin operasi usus buntu, karna takut jahitan di perut ngebuka lagi karna banyak gerak, Daddy jadi beli kursi roda dan karna operasi itu juga aku jadi gak nafsu makan," jelas Anara berbohong, karna Rian sendiri pun tau kalau Anara tak suka pedas, pola makan Anara juga teratur dan selalu yang bergizi, jauh dari kata tidak sehat.

"Oh gitu. Yaudah dari sini aku yang anter kamu ke kelas, Arsya lo duluan aja." Arsya hanya mengangguk, membiarkan Rian mendorong kursi roda Anara.

"Kamu sarapan pake apaan hari ini?" Tanya Rian, membuka topik pembicaraan.

"Roti bakar selai coklat," jawab Anara dengan antusias.

"Makan yang banyak ya sayang... badan kamu kurus banget dari terakhir aku liat,"

"Aku tau," bobot Anara turun hingga sepuluh kilogram. Membuat tubuh mungil itu semakin keliatan kurus tak berisi.

"Tapi Anara rasa nya aneh banget, kenapa kamu bisa kena penyakit usus buntu? Sedangkan pola makan kamu bagus dan sehat, kamu juga gak suka pedes." Anara terdiam, tak tau harus menjawab apa.

"Anara!" Teriakan melengking milik Ersya sedikit membuat Anara bersyukur, walaupun Anara tau ia akan menghadapi kemarahan Ersya sebentar lagi.

"LO ITU PUNYA MASALAH HIDUP APA SIH SAMA GUE? KENAPA LO KAYA PERMAININ PERASAAN GUE!" Meluap sudah kekesalan yang selama ini ia pendam. Semenjak Anara sakit, Ersya jadi sulit untuk menemui Anara.

"Maafin Anara Ersya, Anara gak bermaksud buat kamu ngerasa kaya gitu,"

"Cukup Anara!! Gue muak liat lo yang seolah lemah, sok baik di mata umum, dan berakhir gue yang keliatan jahat! Lo itu caper! Sok! Dan gue jijik liat lo Anara!!"

"Ersya berhak kalau mau ngebenci Anara karna itu hak kamu, Anara juga udah berusaha buat gak sama kak Rian tapi ternyata gak segampang itu,"

"Hahaha OMONG KOSONG! BASI! Kalau lo benci gue gak gini caranya bangsat!" Ersya melayangkan tangannya untuk memukul Anara.

Rian tentu saja menghentikannya. "Cukup Ersya! Aku ninggalin kamu karna memang itu keputusan aku, aku juga bersikap baik sama kamu karna kamu adik dari teman baik aku. Aku mohon jangan berharap lebih, keputusan aku udah bulat, dan jangan salahin Anara atas keputusan aku Ersya!" Ersya merasakan sesak luar biasa.

"Apa kurangnya aku kak? Aku udah nyoba jadi yang terbaik buat kamu, tapi kenapa aku seolah selalu kurang buat kamu?"

"Karna kamu bukan Anara. Sesempurna apa pun perempuan di luaran sana, gaakan keliatan sempurna buat aku, karna sempurna dari sudut pandang aku cuma ada di Anara." Ersya kecewa, ia menangis dan terus memaki Rian serta Anara yang seolah mempermainkannya. Drama di pagi hari itu di tutup oleh Arsya dan Zion sebagai penengah.

"Lain kali jangan diem kaya gitu pas Ersya kasarin lo Ra..." Arsya sedikit geram karna Anara hanya diam dan berbicara seadanya saat Ersya memakinya habis-habisan di muka umum.

"Semuanya gak bisa di selesaiin pake emosi, pertengkaran bakalan makin rumit kalau ada api lain yang berkobar, semua bakalan meluas dan berujung kehancuran,"

"Tapi dia jadi ngeremehin lo Ra!"

"Harus ada air yang sedia memadamkan kala api membesar, Arsya jangan jadi angin yang cuma memperluas masalah. Cukup diam dan beri penjelasan secara perlahan, Ersya pasti paham kok!" Lagi-lagi Arsya hanya bisa meredam amarahnya dengan diam. Mendengar Anara yang seolah bertausiah membuatnya semakin emosi.

Ujian berjalan lancar, Anara pun pulang ke rumah Aryunandyaz bersama Arsya, Rian ingin mengantar, tapi ada jadwal les hari ini. Rian benar-benar menekuni impian dari Anara.

"Mommy sakit..." keluhnya pada Arin saat berada di kamarnya.

"Sabar ya sayang? Daddy masih berjuang nyari pendonor buat kamu, Wiliam dan Nanda pun berusaha nyari jalan lain biar kamu sembuh,"

"Maafin aku karna ngerepotin kalian." Anara tertunduk sambil meneteskan air matanya. Yusan, Aaric, Arata, dan yang lainnya sibuk mencari jalan keluar agar Anara bisa sembuh.

Arin mengelus rambut Anara dengan perlahan dan halus, ia kasihan melihat putri bungsunya di bawah tekanan batin juga rasa sakit yang terus menerjangnya. Andai ia bisa menggantikan posisi Anara, pasti akan ia lakukan demi tuan putrinya.

****

Kemarin Anara sudah melarang Yusan dan yang lainnya mencari pendonor untuk Anara, Anara tau ia tak akan bisa sembuh.

"Maafin Daddy sayang," Yusan menangis sambil memegang lengan Anara yang sudah tak berisi.

"Dad, jangan tunjukan kelemahan mu di hadapan semua orang. Bangun dan berdiri tegak lah untuk ku, tetaplah jadi benteng pertahanan terkuat untuk keluarga kita," kantung mata Anara yang menghitam, wajah yang terlihat lesuh dan tak bertenaga.

"Kamu harus kuat, jangan nyerah gitu aja." Anara tersenyum manis, kedua matanya menyipit dan lesung kanannya pun tercetak. Bersamaan dengan tercetaknya lesung sebelah kiri Rian, lelaki itu sedang bersorak kegirangan saat mengetahui ia mendapat nilai bagus hasil tersebut ia dapatkan berkat bocoran dari beberapa guru.

"Anara aku akan mencapai satu lagi impian dari mu untuk ku." Gunamnya dalam hati.

Impian Untuk RianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang