#13. Lost

7 4 0
                                    

Semenjak kejadian di keluarga Aryunandyaz itu Anara pun tak masuk, bahkan ini adalah hari ketiga. Rian di landa kegalauan juga Rindu yang meradang.

"Cewe lu ngilang kemana lagi? Kayanya lo berdua jarang banget ketemu, padahal satu sekolah," oceh Zion. Dia ga tau aja cara hubungan Anara dan Rian bagaimana.

"Mau gue hekter mulut lo?" Dengan gerakan cepatnya ia menutup mulutnya rapat-rapat.

"Anara kenapa ga masuk?" Tanya Janu.

"Kayanya ada masalah Nu, tapi gue juga gatau apa masalahnya," Janu paham akan keadaan Rian saat ini. Ia tak bisa berbuat apapun selain menunggu.

*•••••℘℘℘••••*

Kali ini teman-teman Anara yang menghampiri ketiganya, bukan seperti biasanya. "Kak Rian tau ga Anara kenapa ga masuk?" Rian hanya mengangkat bahunya acuh.

"Ih serius dong kak Rian, kita di tanyain terus nih sama guru-guru," Anara menjadi kesayangan guru-guru karna kepintarannya.

"Kata Rian ada masalah keluarga,"

"Kenapa ga ngabarin kita ya?"

"Lo berdua kan tau kalau prioritasnya itu buku bukan hp apalagi Rian," ucap Janu sedikit menyindir, Rian tak menanggapi, ia fokus pada makanannya.

"Hahaha kak Janu bisa aja. Yaudah kak kita pamit ya? Makasih atas waktu luangnya," Arsya dan Ersya pun pergi dari sana.

"Ri gue boleh tanya?" Rian hanya mengangkat alisnya sebagai respon.

"Lo udah ada kepastian sama Anara?"

"Kemarin dia bilang pengen komitmen sama gue,"

"Hahahaha mau aja njir kejebak di hubungan kaya gitu," Zion tergelak, menghapus sejenak air matanya yang keluar lalu kembali berucap. "Rian Rian, lo pikir cewe ngomong kaya gitu serius?" Rian hanya mengangkat bahunya acuh.

"Semua cewe bilang komitmen karna dia pengen deket sama cowo lain, gini ya, kalau pacaran itu kan artinya lo ada ikatan, jadi lo ga bebas gitu kalau mau deket sama yang lain, sedangkan kalau lo komitmen, lo cuma bisa megang kata-kata doang tanpa ada jaminan kalau pasangan lo cuma komitmenan sama lo doang," Rian meneguk salivanya. Tapi biar bagaimana pun ia tetap mencintai dan percaya pada gadisnya.

"Gue percaya sama Anara, Anara kan bukan tipe-tipe cewe kaya pacar lo yang demen nemplok sana sini kaya cicak," gantian kini Janu yang tertawa terbahak-bahak hingga terbatuk di buatnya. Ucapan Rian terlampau menusuk untuk Zion.

"Gue yang mutusin ya bukan gue yang di putusin!" Zion keukeh sama pendiriannya.

"Hahaha bukti nyata noh di belakang lo!" Janu menimpali seraya menunjuk ke arah inoia yang sedang makan sambil menyuapi lawan jenisnya.

"Mereka udah hubungan 4 bulan yang lalu, sedangkan dia sama lo baru putus 3 bulan yang lalu," lanjut Janu, mampu membuat hati Zion teriris.

"Tapi kan gue juga udah punya pacar lagi pas putus," belanya.

"Zi, punya pacar lagi setelah putus tuh ga ngejamin hati lo juga dah netep di situ. Gue tau kalau hubungan lo sama anak tingkatan Anara itu ga serius, gue tau Zi kalau lo cuma gamau di bilang gamon sama mantan lo!" Kali ini Zion membenarkan kata-kata Janu.

"Kali-kali napa Zi pacarin cewe tuh yang bener, modelan anak 10 MIPA 1. Isinya good girl semua loh! Jauh dari isu miring pula, cocok buat lo yang demen bikin sensasi," Rian hanya menyimak keduanya sambil mengangguk.

"Gue setuju sih sama lo Jan," timpal Rian.

"Tapi gue ga pernah cari sensasi Nu.." rengeknya.

"Terus kejadian belum lama ini apa? Yang lo biarin dua orang yang suka sama lo ribut di lorong koridor utama, sedangkan yang di perebutin cuma diem di bangku sampingnya tanpa ada niatan misahin. Oh atau yang lo sengaja ngedipin cewe orang di depan cowonya sampe mereka ribut dan lo cuma bersikap cool pengen misahin tapi nerima kata 'gapapa aku bisa urus sendiri' dan berakhir di cap PHO," Zion terdiam.

"Terus lo sendiri kapan nyari cewe Nu?" Celetuk Zion tiba-tiba setelah terdiam cukup lama.

"E-um itu- nanti mungkin,"

"Lo bahkan susah buat jawabnya Nu," sergah Zion.

"Kalian berdua tau ga sih? Terkadang gue suka ngerasa terasingkan sendiri," Rian yang semula tak peduli akan keduanya pun mulai melirik Zion.

"Maksud lo apa?" Tanya Rian.

"Gue kaya ngerasa paling gatau apa-apa soal kalian, sedangkan gue selalu terbuka sama kalian. Baik masalah pribadi atau pun umum," oke Janu dan Rian mulai mengerti.

"Ga semua harus lo tau Zi, lo terbuka sama kita mungkin karna lo bukan tipe manusia yang suka nyembunyiin masalah, tapi buat kita berdua beda lagi, kita ga suka terlalu terbuka sama orang lain. Kita cuma berfikir 'kayanya ga perlu' atau 'lebih baik di simpen sendiri' gitu Zi,"

"Terus apa guna nya gue?"

"Ya temen buat di ajak gila-gilaan Zi," jawaban Janu tak memuaskan pertanyaan Zion. Lelaki itu hanya beralih menatap ponselnya, padahal ia tak membuka atau pun menyalakan ponselnya.

"Gini loh Zi, kita cuma perlu waktu. Kaya waktu di cafe pun gue cerita kan tentang Ayah gue? Lo sering-sering aja pancing kita buat cerita tentang hal yang bikin lo penasaran, tanpa sadar pun pertanyaan lo akan kejawab sendiri,"

Rian dan Janu adalah orang yang paling dewasa, meski perbedaan umur mereka tak berbeda jauh, namun kedewasaan tak menjamin dari umur bukan? Pernah ia mendengar seseorang yang berucap "seseorang tidak akan naik tingkatan atau dewasa jika tidak di berikan ujian yang berat serta kesulitan untuk di lewati." begitu katanya.

Mungkin karna kepergian Yudha yang membuat Rian dewasa dan mempunyai hati teguh juga menjadi manusia yang lebih bertanggung jawab atas semua tanggungannya, Janu pun pasti memiliki pengalaman yang tak mengenakan hingga bisa menjadi laki-laki dewasa seperti saat ini. Namun Zion? Laki-laki itu hidup bergelimang harta, serba berkecukupan, semua keinginannya selalu terpenuhi, di manja oleh kedua orang tuanya. Bagaimana laki-laki itu bisa tumbuh dewasa jika hidup dalam lingkungan seperti itu?

"Gue ga pinter ngelakuin hal kaya gitu Ri..."

"Banyak-banyak nanya aja Zi," jawab Janu.

"Btw selama kita temenan, kita ga pernah tau alesan lo jadi playboy," Rian sengaja mengalihkan pembicaraan karna kalau ga gitu Zion pasti akan berlarut-larut dan ngestuck di sana.

"Gue cuma lagi nyari rumah yang tepat buat gue tinggalin. Gue cuma nyari cewe yang cocok, yang mau berbagi dan nemenin gue di semua keadaan," baru kali ini keduanya mendengar Zion serius dan bijak.

"Kalau lo nemuin?" Tanya Janu penasaran.

"Gue bakalan berenti nyari cewe lain, bakalan berenti main-main dan bakalan merjuangin dia,"

"Lo mau ngikutin jalan ninja si Rian ceritanya?" Ujar Janu sambil menahan tawa.

"Nu.. terkadang berubah jadi lebih baik itu ga segampang bikin orang babak belur. Kita pasti butuh motivasi atau sekedar kata semangat kalau mulai ngerasa down. Lo pikir gue mau ikutan tauran, balapan liar, ngumpul-ngumpul sama lo pada sampe tengah malem cuma karna pengen popularitas? Nyatanya ga gitu... gue cuma cape di rumah harus ngedenger orang tua gue terus-terusan ribut karna masalah yang beda setiap harinya,"

"Loh gue kira keluarga lo harmonis Zi," ucap Janu tak percaya.

"Mereka pinter banget akting. Bahkan gue lebih muak lagi ngeliat Ersya yang gampang banget terobsesi sama sesuatu dan berujung dia depresi,"

"Tapi dia keliatan kaya orang yang normal-normal aja Zi," ucap Rian.

"Dia bukan tipikal cewe agresif, semua yang dia incar, pasti bakalan dia dapetin. Dengan rencana yang mateng dan dia jalanin secara perlahan. Gue takut dia ngerusak hubungan lo sama Anara Ri, gue takut suatu saat nanti lo bakalan nyakitin Ersya karna tindakan keterlalunnya karna biar gimana pun dia tetep adik bungsu gue, tetep tuan putri di keluarga gue. Jadi kalau sewaktu-waktu lo jadiin adek gue bahan pelampiasan dan berujung nyakitin hatinya, gue gaakan segan-segan balas perbuatan lo. Tanpa mandang status lo sebagai temen," Rian dan Janu terdiam.

"Dia terobsesi buat dapetin lo!" Keadaan menjadi hening, hingga bel masuk pun menjadi pemecah keheningan ketiganya.

Impian Untuk RianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang