#28. Anara tetaplah Anara

14 2 0
                                    

Di pagi yang cerah ini Rian menyeduh kopi di dapur milik keluarga Arin. Pikirannya melayang pada kejadian petang kemarin, Anara menangis cukup lama hingga tertidur karna kelelahan. Sedangkan nasib kopi yang di seduhnya hanya di aduk terus menerus dengan gerakan lambat.

Ada apa sama Anara? Apa dia nyembunyiin sesuatu dari aku? Batinya bertanya-tanya.

"Jika tak fokus mengerjakan sesuatu, maka tak akan jadi pula sesuatu yang kamu kerjakan. Semuanya hanya akan berakhir dengan kegagalan,"

"Eh Oppah," Rian begitu terkejut saat Arata ada di belakangnya.

"Apa yang kamu pikirin? Apa Anara ngebuat kamu bingung? Kamu di ghosting?" Arata tak menunjukan wajah garang khasnya di depan Rian.

"Rian cuma lagi bingung aja sama Anara Oppah,"

"Apa yang kamu bingungin?"

"Anara dua kali berturut-turut bahas soal kematian ke Rian. Padahal Rian udah yakinin Anara, Rian bakalan jagain Anara, ngelindungi Anara dari berbagai bahaya. Rian juga janji buat setia dan ga yakitin Anara," Arata tau maksud Rian. Jadi Anara tak memberitahu keadaannya pada Rian.

Arata bisa melihat bagaimana cinta Anara untuk Rian lewat binar di mata hitam cucunya itu. Arata mengerti maksud Anara, juga mengerti akan tanda tanya yang Rian pikirkan.

"Kamu ini kaya yang gatau anak zaman sekarang aja. Mereka kan kalau sedang merasa tertekan pasti berfikiran yang engga-engga, padahal aslinya mereka takut untuk ngelakuinnya. Kamu jangan negatif thinking Rian, mungkin Anara sedang mendapat tekanan dari Yusan. Laki-laki itu selalu saja menyiksa cucu ku dengan banyak soal, hingga kalau kemana-mana Anara selalu membawa buku belajarnya,"

"Oppah yakin soal itu?" Arata mengangguk.

"Biar gimana juga Anara punya titik terendahnya sendiri Rian, Anara tetaplah Anara cucu ku yang lemah, sekuat apapun keliatannya, selebar apapun senyumnya, sekencang apapun tawanya, ia tetap mempunyai masalah yang sewaktu-waktu membuatnya merasa tertekan. Anak itu hanya bisa menangis tanpa bisa mengeluh." Rian tersenyum kecut.

"Jangan memasang mimik wajah yang membuat ku malas memandang mu Rian. Ceria lah, nanti juga Anara akan balik ke sifat periangnya. Jangan terlalu di pikirkan." Rian masih diam dan tertunduk. Masih merasakan resah dan hatinya terus menuntut jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya.

"Bisa main catur?" Rian hanya mengangguk.

"Kalau begitu temani aku main di taman belakang." Rian hanya mengikuti langkah Arata. Menatap sendu pada kopi buatannya yang tidak berbentuk.

****

Malam telah hadir, bulan telah menggantikan posisi sang mentari untuk menyinari alam semesta. Membiarkan mentari untuk beristirahat dan mengantikan bulan di keesokan hari nya. Anara masih belum keluar dari kamarnya, ia tak makan dan tak minum sedari pagi. Mengunci pintunya seolah tak ingin bertemu seseorang. Rian memandang pintu itu, ia sudah berdiri tiga jam lamanya di depan pintu Anara.

"Gausah sok kaya drama india deh lo Ri, Anara memang udah biasa kaya gitu. Besok juga dia ceria lagi,"

"Tapi Anara kan belum makan dari pagi kak, kalau Anara sakit gimana?"

"Tenang aja Ri dia pasti nyimpen coklat sama berapa makanan di kamarnya. Anara juga tipe orang yang naro air minum di kamarnya,"

"Lo yakin?"

"Gue kenal adek gue dari orok, dia pasti baik-baik aja Ri. Dari pada lo ngegalauin adek gue, mending ikut gue ke rooftuf, ada yang mau gue omongin sama lo." Rian hanya mengikuti Arya dari belakang.

Mereka langsung di sambut oleh angin malam yang menusuk kulit begitu membuka pintu rooftuf. Langsung saja keduanya duduk di gajebo yang sengaja di buat oleh Arata, penampilan rooftuf pun tak flat, karna ada lampu juga tanaman yang Lestari tanam sendiri. Membuat rooftuf lebih berwarna.

"Lo sayang banget sama adek gue Ri?" Rian mengangguk.

"Anara ada cerita tentang dirinya ke lo?"

"Ada,"

"Dalam banyak hal?" Rian lagi-lagi mengangguk.

"Tentang apa aja?"

"Soal pindahnya dia ke sini, tentang keluarga kalian, tentang sepupu-sepupunya, gimana dia belajar, dan sesuka apa dia sama indonesia. Itu aja,"

"Gaada yang lain?"

"Gaada,"

"Gue mau minta tolong sama lo,"

"Apa?"

"Jagain adek gue kalau gue gaada di sisinya, gue akan sibuk sama kuliah dan masalah kantor juga keluarga yang akan gue bangun,"

"Tanpa lo minta pun gue pasti jagain adek lo Kak,"

"Makasih ya Ri." Rian hanya tersenyum menanggapinya.

"Kenapa lo tiba-tiba pengen ngobrol sama gue?"

"Gue cuma mau lebih deket sama lo, sekalian mastiin lo serius sama adek gue atau engga,"

"Gue serius lah, mana mungkin ga serius,"

"Bagus kalau gitu."

"Soal rencana pernikahan lo gimana?"

"Dikit lagi selesai, tiga bulan lagi tinggal nikah. Lo dateng ya?" Rian mengangguk antusias.

"Tanggal 12 februari nanti adek gue ulang tahun, sekedar informasi, barang kali lo belum tau,"

"Makasih infonya."

"Ayo masuk, tidur... Jangan terlalu lama di sini Ri, nanti lo masuk angin," Rian mengangguk. Arya bangkit dari duduknya dan keluar melewati pintu rooftuf, sedangkan Rian masih diam di sana.

Angin malam menusuk kulit putihnya, walau merasakan dingin yang teramat, namun Rian enggan beranjak dan tetap di sana sambil memandang langit malam yang hanya berhiaskan bulan sabit tanpa bintang.

Rian mulai lega setelah berbicara dengan Arya, namun sekarang pikirannya malah terganggu oleh Dyan. Akhir-akhir ini Dyan terus memaksa Rian untuk kembali dan menggunakan banyak cara agar Rian mau kembali.

Rian hanya takut Dyan mengetahui alasannya untuk keluar dari geng, yaitu karna Anara. Rian takut Anara akan ikut terseret, apalagi Dyan orangnya nekat, Rian takut kalau Anara di apa-apa kan oleh Dyan.

Impian Untuk RianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang