#47. Mengetahui

8 3 0
                                    

Rian di buat kesal pagi-pagi oleh Riasya, setelah beberapa hari belakangan di sibukan belajar dan ujian, kini ia harus di repotkan dengan datang ke rumah sakit khusus yang entah untuk penyakit apa padahal hari ini Rian sedang menikmati weekend nya.

"Ri jangan kesel gitu dong, Bunda kan harus jenguk temen Bunda," Rian membuang nafasnya kasar.

"Iya Bun!" Meski begitu ia tak kunjung tersenyum, lelahnya masih tak tertuang dan tetap terendap.

Begitu sampai pada ruangan yang di tuju Bundanya, Rian tak ikut masuk, ia hanya duduk di depan ruangan sambil memerhatikan sekitar.

"Dokter Nanda!"

"Iya ada apa?"

"Bisa tolong periksa keadaan pasien bernama Anara? Keadaannya kian memburuk, ia pun mengalami shock saat melakukan cuci darah tadi pagi,"

"Apa denyut nadi, detak jantung, dan tekanan darahnya normal?" Tanya dokter itu dengan nada panik.

"Nadinya kian melemah,"

"Tolong urus pasien di kamar 582, saya mau periksa pasien tersebut." Setelah memberikan beberapa data, dokter perawakan 162 cm itu langsung berlari menuju ruangan pasien bernama Anara itu.

Rian mendengarnya, karna mereka berada tak jauh dari Rian. "Anara??" Rian mengechat Bundanya terlebih dahulu, lalu mengikuti langkah dokter tersebut.

"0633." Gunam Rian.

Di lihatnya insan yang paling ia cintai dari kaca transparan kamar khusus itu, Anara di pasangi banyak alat dengan kondisinya yang di bilang sangat tidak baik.

Rian menatap gadisnya dengan lekat, Anara di tangani oleh dokter tadi dan beberapa suster. Terlihat raut wajah kesakitan dari Anara, Rian pun meneteskan air matanya, bertanya-tanya akan ada apa dengan gadisnya.

"Rian??" Laki-laki jangkung yang bersama Anara waktu itu. Rian terdiam mematung, memperhatikan Wiliam dengan jas putih nya.

"Kamu ngapain ada di sini?" Belum sempat di jawab oleh Rian, teriakan Nanda dari dalam membuat Wiliam masuk dan langsung menangani Anara.

"Kamu kenapa?" Gunamnya, ia hanya bisa terus memandangi Anara dari luar.

****

Wiliam dan Nanda keluar setelah keadaan Anara membaik, mereka juga tak melarang Rian untuk bertemu atau pun menyuruhnya masuk. Urusan Rian di luar pekerjaan mereka sebagai dokter pribadi Anara.

Rian menatap Anara yang sedang tertidur, duduk di bangku yang di sediakan. Rian meraih lengan Anara yang di pasangi infusan, ia tak tega melihat Anara yang biasanya cerewet dan Riang kini terlihat terbaring lemah.

"Kamu kenapa? Kamu sakit apa? Kenapa aku gak tau kalau kamu sakit?" Rian terus bertanya-tanya.

Baru saja matanya terpejam, ia sudah merasa terganggu oleh air yang membasahi lengan sebelahnya. Gadis itu membuka matanya. "Kak Rian?!"

"Ke-kenapa kak Rian bisa ada di sini?" Lelaki itu tak menjawab, ia malah memeluk Anara.

"Kenapa aku gak pernah tau kalau kamu sakit separah ini?" Anara tersenyum, membalas gengaman tangan Rian.

"Kalau aku bilang pun keadaan gak akan berubah, kondisi aku cuma bakalan bikin kakak khawatir sama aku,"

"Tapi seengganya.. aku bisa temenin kamu di sini," Anara mengusap wajah tampan Rian.

"Bunda lebih butuh kakak, kakak juga masih harus fokus buat ujian dan praktek," Rian menatap wajah Anara.

"Aku tau... aku juga pasti bakalan wujud-in impian kamu, tapi kamu lebih penting dari semua itu,"

"Gaada yang lebih penting dari masa depan kak Rian..."

"Masa depan aku ya kamu Ra." Anara tak mau memperpanjang, ia pun hanya tersenyum.

"Kamu sakit apa? Kamu juga bohong kan soal usus buntu?"

"Hehe... maafin aku ya? Sakit aku gak parah kok, cuma kritis aja," Anara pun tertawa.

"Apa sakit pas alat-alat ini?" Anara menggeleng.

"Gausah khawatir oke? Cukup kakak fokus sama sekolah dan Bunda, di sini aku bakalan baik-baik aja." Rian mencium kening Anara.

"Tapi aku serius, kamu sakit apa?" Anara menarik senyumnya selebar mungkin.

"Janji gaakan sedih oke?" Setelah melihat anggukan Rian, Anara pun melanjutkan ucapannya. "Ginjal aku mengalami kerusakan, sekarang udah membusuk dan seperti yang kita tau kalau manusia gak bisa hidup tanpa ginjal. Organ dalam aku sedikit istimewa, kalau di ibaratin sama mobil sport ya limited edition gitu. Aku juga punya golongan darah yang langka, AB-. Kalau aja ada organ lain yang cocok di tubuh aku, aku pasti bisa sembuh... tapi sejauh ini gaada organ yang cocok."

"Jadi?"

"Jadi aku tinggal nunggu waktu,"

"Nunggu waktu?"

Anara mengangguk. "Buat pulang."

"Kamu gak boleh ngomong gitu, gimana aku bakalan nepatin janji aku kalau kamu pergi?" Mata biru itu pun berubah menjadi cermin buram.

"Kamu harus kuat, please bertahan dan menua sama aku!" Lirihnya.

"Seandainya bisa pun aku pasti bakalan bertahan, tapi bisikan tuhan akan meminta aku pulang semakin sering terdengar. Jangan sedih kak, baik ada atau pun gaadanya wujud aku, aku selalu sama kakak, aku adalah salah satu penghuni dari dunia yang kakak buat. Semesta gak akan runtuh meski tak berpenghuni, tapi penghuni akan mati bila semesta hancur." Rian menangis dalam diam.

"Maaf karna kakak harus tau kenyataan ini. Nyatanya usaha aku buat bikin kakak benci sama aku cuma sia-sia, rasa sesak ini yang coba aku jauhin dari kamu tapi kamu malah menghampiri rasa ini. Aku minta maaf..." Rian mencium bibir Anara, menggigit bibir bawahnya hingga berdarah.

"Jangan ngomong kaya gitu lagi!! Aku mohon berenti ngomong kaya gitu. Aku bakalan berjuang buat kehidupan kamu, kamu gak boleh kemana-mana. Aku bakalan lakuin apapun buat kamu, aku janji, AKU JANJI SAMA KAMU ANARA." Rian memeluk Anara erat, menangis sejadi-jadinya di pundak yang juga bergetar karna menahan tangis.

Arin dan Yusan yang memperhatikan dari luar pun turut merasakan kesedihan yang di alami keduanya.

"Maafin Daddy. Anara. Rian.." lirih Yusan sambil memeluk Arin yang sedang terisak.

Impian Untuk RianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang