Ekstra Part.

14 3 0
                                    

Kehilangan Anara adalah sebuah bencana besar untuk Rian. Semesta itu bagai terkena bencana alam dan pencemaran dimana-mana, siap runtuh bila saja tak ada manusia lain yang lagi peduli terhadap keadaannya.

Satu bulan ini Rian seperti orang tidak waras, raga serta organ-organnya masih berfungsi dengan baik, namun jiwanya seolah mati. Terlihat dari tatapan mata birunya yang selalu kosong.

Riasya hanya bisa memandang miris putra semata wayangnya, putranya hanya menatap keluar jendela sambil menatap langit yang akhir-akhir ini selalu mendung. Semesta pun masih berkabung atas kepergian Anara.

"Bunda harus ke kantor, Rian baik-baik aja." Ucapnya tiba-tiba. Tanpa berbalik atau pun bergerak dari tempatnya. Tapi ia menyadari kehadiran sang ibunda.

"Tapi Ri, kamu gak baik." Rian diam tak menanggapi. Lelaki itu jadi tak pernah banyak berbicara pada siapa pun, termasuk Riasya.

Buku yang ia temukan tempo hari tak lepas dari genggamannya, tak henti-hentinya ia usap. Ketika suara pintu tertutup dan tak lama kemudian suara mesin mobil yang keluar dari gerbang rumahnya, Rian kembali menangis. Sumpah demi apapun Rian tak bisa menjalani hidupnya tanpa Anara, semua serasa berat untuk di jalani. Katakan lah Rian terlalu berlarut-larut dalam kesedihan, tapi apakah manusia lain bisa berada dalam posisi Rian? Bisakah manusia lain memahami Rian? Nyatanya manusia lain termasuk Bundanya sendiri pun tak akan memahaminya, kecuali manusia itu mengalami hal yang serupa.

Kedatangan Zion serta Janu adalah hal yang paling Rian benci, keduanya hanya membuat Rian semakin tak ingin berkomunikasi dengan siapa pun. Tiga minggu lalu pertengkaran hebat itu terjadi, hingga membuat Rian tak membuka pintu kamar hingga berhari-hari lamanya.

Flashback.

"Lo harus bangkit demi Bunda Ri, kasian Bunda. Bunda sampe ke rumah gue, nangis-nangis depan Mama karna gak kuat lagi liat keadaan lo yang lebih mirip orang stres! Kehilangan Anara bukan akhir dari dunia Ri, bumi bakalan tetap berputar pada porosnya, matahari pun gak akan redup walau gak ada senyuman Anara lo itu!" Janu terlampau kesal. Janu tau Rian teramat menyayangi Anara, gadis itu yang membuat musim semi setelah sekian lama musim dingin melanda dunia milik Rian. Tapi Anara pula yang membuat gersang dan membuat Rian mati di tengahnya.

"Keluar." Rian berujar dengan nada terlampau datar.

"Lo harus terima kenyataan kalau gak ada manusia yang abadi, lo pun suatu saat nanti bakalan mati Ri. Gue ngerti lo sedih, tapi gak seharusnya kesedihan lo itu nyiksa diri lo sendiri. Mau lo puasa sampe ratusan tahun atau lo kuras lautan pun, Anara gak akan balik ke elo! Mau lo sholat siang malam, atau ngelakuin hal gila lainnya, Anara gak bakal balik ke pelukan lo!"

"KELUAR JANUARI!" Rian berteriak keras sekali hingga rahangnya mengeras.

"Lo marah karna gue ngomong soal kenyataan? Kenyataan kalau ANARA LO ITU UDAH MATI... IYA??!" Tanpa basa-basi Rian pun langsung meninju wajah Janu tanpa ampun, bisa saja Janu mati di tangan Rian saat itu juga bila saja Arsya tak berteriak dan memeluk Janu dengan erat.

"LO GILA HAH? DIA TEMEN LO! KENAPA LO TEGA NGELAKUIN ITU RIAN!" Arsya membuat tekanan yang Rian rasakan semakin berat.

"KELUAR!" Teriaknya lebih lantang dari sebelumnya.

Orang-orang tak ada yang berani mendekati Rian, mereka bilang Rian sudah gila. Rian pun semakin jauh dari keramaian, ia mengurung diri dan hanya makan sesekali. Ia sungguh tak siap kehilangan Anara.

Flashback off.

Pintu kamarnya kembali berdecit, sesosok Januari dan Zion pun masuk kedalamnya.

Impian Untuk RianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang