Belum ada satu minggu Anneth bersekolah di SMA Lentera Garuda, namun ketenangannya sudah terganggu. Bukan karena ulah anggota Lengkara, melainkan pemandangan setiap hari yang ia saksikan di sekolah, dimana selalu ada saja perkelahian yang terjadi di sini. Tak hanya perkelahian, Anneth juga harus terus-menerus melihat penindasan terhadap mereka yang berada di kasta bawah tanah. Mereka yang ditindas tidak dapat melawan dan hanya bisa pasrah. Karena melawan pun percuma, mereka akan tetap kalah dan berakhir menyedihkan. Mengadu ke guru? Percuma. Karena guru sama sekali tidak mau ikut campur ke dalam masalah yang terjadi di sekolah ini. Mereka hanya fokus untuk mengajar hal akademik. Di luar itu, sudah bukan urusan para guru lagi.
Sedikit ada rasa penyesalan mengapa Anneth memilih untuk masuk ke sekolah berandalan ini. Apalagi dia adalah manusia yang cinta damai. Dia membenci kekerasan, itu sebabnya, Anneth sangat tidak suka berada di sekolah ini. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Mau tidak mau, Anneth harus menjalani 3 tahun masa sekolahnya di sini. Lagipula, meskipun sistem di sekolah ini sangat brutal, tidak bisa dipungkiri bahwa SMA Lentera Garuda merupakan salah satu sekolah terbaik di Indonesia, sehingga hal ini akan mempermudah para alumninya untuk melanjutkan sekolah di luar negeri karena koneksi SMA Lentera Garuda sangatlah banyak. Dan bersekolah di luar negeri adalah salah satu impian Anneth yang sangat ingin ia wujudkan. Setidaknya, Anneth memiliki satu alasan mengapa ia harus bertahan di sini.
Baru saja Anneth, Zara dan Misellia tiba di kantin. Namun, mereka sudah disambut oleh suara orang berkelahi di pojok belakang kantin. Di hadapan Anneth, seorang laki-laki sedang terduduk di lantai dan menjadi bahan olok-olokan beberapa gerombolan laki-laki yang berjumlah 4 orang.
"Woy cupu! Sepatu gue kotor nih, bersihin dong!" ucap salah satu dari keempat orang itu sembari menginjakkan kakinya di paha laki-laki itu. Laki-laki itu hanya bisa mengangguk patuh dan mulai mengelap sepatu itu dengan baju seragamnya.
'Plakkk' sang penindas memukul kepala laki-laki itu cukup kencang.
"Siapa yang nyuruh lu bersihin pake seragam lu? Jilat!" laki-laki itu menatap tidak percaya pada perintah yang dilontarkan oleh penindasnya. Dia tidak ingin melakukannya, tapi dia juga tidak bisa melawan. Akhirnya, dia hanya bisa pasrah dan menurut untuk menjilati sepatu itu.
Sedangkan, ketiga teman penindas yang lain hanya tertawa menyaksikan pemandangan di depan mereka.
"STOP!!!" sebuah teriakan menghentikan aksinya yang hendak menjilati sepatu milik penindasnya.
Kelima laki-laki itu menoleh. Seorang gadis berjalan ke arah mereka dan menatap mereka dengan tajam.
"Lu semua udah gila?! Pake nyuruh orang buat jilat sepatu lu. Emang lu siapa? Presiden aja bukan, belagu banget!" damprat gadis itu kepada 4 orang penindas di hadapannya.
"Eh, lu anak kelas 10 gak usah ikut campur ya! Ini bukan urusan lu!" bentak sang ketua penindas yang diketahui bernama Riki.
"Gue emang anak kelas 10, tapi jangan dipikir gue takut ya sama lu! Dia..." gadis itu menunjuk pada laki-laki yang tadi ditindas.
"Gak pantes buat jilatin sepatu lu, karena sepatu lu itu gak jauh beda sama sampah!" lanjut gadis itu penuh dengan penekanan.
"Apa lu bilang?!" Riki geram dan menghampiri gadis itu.
"Coba sekali lagi lu bilang!" Riki mencengkeram kuat lengan gadis itu, membuatnya meringis kesakitan.
"A-aww...sa-sakit"
"Makanya, jangan macem-macem sama gue atau-" ucapan Riki terhenti saat dia merasakan cengkeraman kuat di bahunya.
"Atau apa? Hmm?" Nyali Riki seketika ciut saat menyadari bahwa yang sedang mencengkeram bahunya saat ini adalah Betrand.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lengkara [END]
FanfictionApa jadinya jika sebuah sekolah yang biasanya hanya fokus pada urusan akademik, justru memiliki tingkat kasta di dalamnya? Dimana mereka yang memiliki kasta paling rendah, akan menjadi 'sampah' dan diinjak-injak oleh mereka yang memiliki kasta lebih...