37. Cinta itu...

19 8 0
                                    

            "Demi Tuhan, El

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Demi Tuhan, El. Gue capek banget, kaki gue sakit semua. Lo gak kasih gue istirahat gitu, sehari aja?" pinta Reno yang terengah-engah di tengah lapangan. "Kita latihan kebanyakan, kita latihan tiap hari, dari pagi sampai sore. Gue ngantuk, gue capek, gue pengen istirahat... El!"

"Demi apapun iya," Aldi terduduk dengan letih. Dia terengah-engah juga. "Kaki gue keram, gue mau lari terus juga gak kuat. Beneran, gue kurang tidur terus."

Elraga yang tengah berlari kini terhenti seketika, rahangnya mengeras. "Lebay! Latihan sekarang, gak ada istirahat segala. Besok lusa kita melaju ke tujuh besar! Jangan sia-siain kesempatan, bukan cuma gue yang mau bangun basket, lo juga!"

"Gue emang pengen bangun nama basket kita. Tapi bukan gini caranya, gue juga butuh istirahat, bukan cuma menuruti ego lo yang tinggi itu." Reno menegapkan kembali tubuhnya. "Impian kita."

"Ya terus gimana lo mau naikin pamor basket, kalo lo latihan aja ngeluh capek mulu. Lo ini gimana, sih? Otak lo di mana? Yang capek bukan lo doang." Elraga menggebuk dadanya sendiri. "Gue juga. Gue gak mau sia-sia."

"Udah-udah. Jangan debat. El, mending kita istirahat dulu, deh. Soalnya—"

"Bacot lo, Rald. Gak ada yang ngerti. We're close! Jangan sampe besok di tujuh besar, kita kalah. Gue gak mau kayak begitu, paham lo pada?"

Keempat cowok itu mengangguk melihat kerasnya tekad Elraga. Tak ada yang bisa mereka lakukan, selain memaksakan diri mereka untuk terus ikut berlatih hingga selesai.

Karena, Elraga yakin. Kemenangan datang lewat kegigihan.

Meskipun, sejatinya dalam hatinya masih ada rasa ragu. Bisakah ia?

Tapi ia tangkis itu semua lewat kerja keras.

Kerja yang terlewat keras.

***

Elraga menghilang. Dia benar-benar tidak seperti dulu lagi. Dia telah berubah. Seketika, pikiran tebersit di benaknya.

"Katanya, anak-anak basket lagi kena masalah. Dia dipalkorin ama kepala sekolah."

"Hah, palkor gimana anjir?"

Melina mengedikkan bahunya. "Algra bilang, waktu itu kepala sekolah janjiin basket gak bakal dibubarin kalau mereka masuk dua puluh besar. Tapi, pas Elraga tagih, ternyata kepala sekolah bilang, perlu juara satu biar basketnya bertahan.

"Sejujurnya, SMA Arubuana gak sesiap itu. Soalnya, mereka cuma berlima. Gak ada tim cadangan. Ada sih, cuma mereka gak main. Mereka itu formalitas doang. Makanya, sejauh ini mereka mainnya aman, gak agresif. Soalnya... kalau misalnya salah satu dari mereka cidera, habis riwayat sekolah. Beneran."

Sepucuk Surat untuk Elraga [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang