"Apa?! Papa kambuh lagi?!" pekik Kalamanda, atau biasa dipanggil Kal. "Kenapa bisa?!"
"Enggak tau, asam lambungnya naik lagi kayaknya, Kal. Jadi Papa mual-mual, muntah-muntah."
Kal menggigit bibir bawahnya. Dia resah. Papanya mulai sakit-sakitan akhir-akhir ini. Di penghujung umur 40-nya, Papanya suka mengeluh penyakit-penyakit yang mulai mendatangi dirinya. Entah itu kolestrol, asam lambung, atau darah tinggi, banyak sekali.
"Aduh, Ma. Kalau dibiarin terus, bisa gawat kan, ya?"
Mamanya malah tertawa. "Ah, kamu mah panikan. Asam lambung biasa, kok. Paling nanti juga sembuh. Kamu belajar aja, ketahuan nih, pas di kelas sukanya tidur." Mamanya menyentil dahi Kal.
"Aduh Mama! Sakit tau!"
"Yaudah, sana kamu beres-beres. Ada makanan di bawah tudung saji, kalau kamu mau, makan sana."
Kal kini berjalan menunju kamarnya, menaiki tangga melingkar menuju lantai dua. Tapi, tepat sebelum dia mendaki tangga itu. Dia melihat satu figura besar. Figura di mana ketika dia bertamasya di Roma.
***
Elraga pulang. Dia memasuki rumahnya tepat ketika matahari sempurna tenggelam. Rumahnya kosong dan sepi. Hanya ada sisa-sisa barang yang berantakan. Barang yang tidak semestinya di sana.
Banyak baju yang teronggok bisu di sisi-sisi, dengan botol-botol minuman sisa yang tidak terbuang.
Di satu sisi, Bi Inah sedang membersihkan rumah Elraga yang nampaknya macam kapal pecah itu.
Elraga menghembuskan napasnya, lelah.
"Bapak dan Mama ke mana, Bi?"
"Ada di lantai dua, Mas. Mas kok bisa lebam gitu wajahnya, Bibi obati, ya?"
"Gak usah Bi. Bibi lanjut aja beres-beresnya."
"Oke, Mas. Permisi."
Bi Inah kini beralih dari ruang tamu ke dapur. Sementara itu, di ambang pintu, Bapaknya Elraga, Aris, bersandar di ambang pintu. "Bagus, main terus. Gausah pulang sekalian."
Elraga berbalik, dia menyeringai menatap Aris. "Maunya sih begitu."
BRUK!
Tubuh Elraga ambruk. Dia didorong oleh Aris. Manalagi, tubuhnya lemas karena dia baru saja latihan basket. Kini, Aris mengeluarkan ponselnya, dan menunjukkan layar itu kepada Elraga. "APA INI? SAYA DIPANGGIL LAGI?!"
Elraga menelan ludahnya, matanya membulat. Sial, sekolah sekarang tahu dan bisa menghubungi Bapaknya.
"LO JADI ANAK BECUS GAK SIH BANGSAT!"
CTAR!
Satu pecutan sabuk kulit menjilat paha berkeringat Elraga. Rasanya perih. Kini, yang bisa Elraga lakukan hanyalah mengerutkan dirinya. "UDAH GOBLOK, NYUSAHIN BANGET LO!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepucuk Surat untuk Elraga [SELESAI]
Fiksi RemajaBasket SMA Arubuana terancam dibubarkan! Elraga, sebagai ketua basket, berusaha dengan keras untuk membangun kembali pamor basket SMA Arubuana yang telah redup sebelum-sebelumnya. Bersama dengan Kalamanda, si murid baru, semuanya terasa mudah bagi...