"Daniel!" Teriak perempuan itu.
Tubuh perempuan itu, jatuh terduduk di samping tubuh Daniel yang terbujur kaku. Tangannya terulur untuk menyentuh wajah Daniel yang pucat, serta di hiasi oleh beberapa luka di bagian pelipis dan ujung kepalanya. Rasa dingin dari permukaan kulit Daniel, menerpa kulit tangannya yang hangat.
"Lo kenapa tidur disini, El?"
"Gue tau lo nungguin gue kan? Di telpon kemarin, lo udah janji untuk jelasin semua kesalahpahaman yang terjadi diantara kita ke gue. Sekarang gue udah disini, untuk nagih janji lo itu." Ucap Qanza, dengan tangan yang masih mengelus lembut pipi pucat Daniel, secara bergantian.
"Jangan buat gue khawatir, El. Ayo buka mata lo dan tatap gue." Lirih Qanza, dengan tangan yang kini beralih menyentuh kelopak mata lelaki itu yang masih saja tertutup. Ia menggigit bagian bawah bibirnya yang bergetar. Berusaha menahan agar isak tangis tidak keluar dari bibirnya.
"Nak, jangan seperti ini. Ikhlaskan Daniel dan biarkan dia pergi dengan tenang." Ucap ibu Daniel, saat menyadari keberadaan Qanza—perempuan pertama yang di kenalkan oleh Daniel kepadanya. Namun, sayangnya sang ayah tidak menyetujui hubungan di antara keduanya, dan berniat menjodohkan Daniel dengan anak dari rekan kerjanya.
"Apa maksud tante? Daniel gak mungkin pergi ninggalin aku. Daniel cuma tidur. Dia marah karena aku pergi tanpa mengabarinya." Ucap Qanza tidak suka. Danielnya tidak mungkin pergi meninggalkannya.
"El, bangun. Buktikan omongan lo, kalau lo gak akan biarin gue sendirian lagi."
"Gue mohon bangun, El." Lirih Qanza, yang mulai menyadari bahwa semuanya telah usai. Hubungannya dengan Daniel yang tidak pernah di mulai, kini telah usai. Kebahagiannya kembali terenggut. Ia kembali kehilangan cintanya untuk kedua kalinya. Kehilangan pertama terjadi karena, ia hampir saja di lecehkan oleh orang yang sangat ia percayai pada masa itu. Dan sekarang, ia kembali merasakan kehilangan, karena takdir Tuhan yang tidak mempercayainya untuk merasakan bahagia.
Bara yang melihat kehadiran Qanza yang tanpa terduga pun, berjalan menghampiri gadis itu sambil mendorong Reytina yang duduk di atas kursi roda. Reytina bersikeras untuk datang ke acara pemakaman Daniel, walaupun kondisinya belum benar-benar pulih. Dokter menyerah untuk membujuk gadis itu, dan akhirnya mengijinkan Reytina keluar dari rumah sakit dengan catatan tidak boleh sampai kelelahan, dan terlalu banyak beraktivitas.
Reytina juga belum diijinkan untuk berjalan, mengingat luka jahitan di perut bagian kanannya belum benar-benar kering.
"Za, udah. Jangan kayak gini. Kita semua juga terpukul dengan apa yang menimpa Daniel." Ucap Albara, berusaha untuk menenangkan Qanza. Karena bagaimana pun ia tidak mau terjadi keributan di tengah suasana duka seperti ini.
Qanza menolehkan kepalanya kearah Bara, dengan tatapan terluka. Tubuhnya kemudian bangkit, dan berjalan menghampiri Bara. "Kenapa Daniel bisa berakhir seperti ini? Ini semua pasti gara-gara lo, kan? Lo itu pemimpin Bar, lo seharusnya bisa ngejaga mereka semua—bukan malah mereka yang menjaga pemimpinnya." Sarkas Qanza, sambil memukul dada Bara berulang kali.
Dari awal, Qanza berusaha menghindari menjalin hubungan dengan lelaki yang merupakan bagian dari anggota geng. Karena hal yang seperti ini lah yang ia takutkan terjadi. Tapi lagi-lagi takdir tidak bisa kita tebak. Apa yang coba kita hindari, justru akan membuat kita jatuh di dalamnya.
"Za, tenangin diri lo dulu." Ucap Reytina, menggenggam pergelangan tangan Qanza untuk berhenti memukuli Bara, yang diam tanpa melakukan perlawanan apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALBARA [ON GOING]
Teen Fiction[FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Apa yang kalian pikirkan jika Ketua dari sebuah geng besar berpacaran dengan seorang gadis cantik ketua osis di SMA-nya? Memiliki sifat yang berbanding terbalik diantara keduanya. Dia Albara Anggara Pratama, The Leader da...