Kira kira jam setengah tujuh, kami sudah sampai di rumah. Bapak dan bang Tobok menikmati teh di teras rumah. Bapak menyambut kami dengan sangat antusias.
"Eh, Dav kau mau balik cepat kah ini?" tanya Bapak. David menggeleng kecil. Bapak mengangguk pelan, seraya menepuk kursi di sebelahnya.
"Sini-sini, kau duduk di samping Tulang mu ini. Kita main catur lagi."
David tertawa kecil, kemudian segera duduk. Bapak menyuruhku mengambil kotak catur. Begitu catur tersebut sudah tersusun di atas meja, aku menyiapkan martabak yang lebih dulu ku panaskan di magic com.
Bang Tobok tak ikut bergabung. Dia memilih untuk pulang, karena harus mengantarkan jagung untuk keluarganya. Sebelum dia pergi, bisa ku tangkap jelas kalau dia melirik David tak suka.
Benar kata David. Sepertinya bang Tobok risih dengan keberadaan David di sini. "Wussss. Kalah lagi lah aku ini." Bapak memijit pelipisnya. David hanya tertawa kecil.
Mereka kembali serius dengan catur, dan Bapak yang sesekali menikmati martabak yang di bawa oleh David.
"Kau beli di mana nih, Dav?" tanya Bapak.
"Martabaknya Tulang?" sahut David. Bapak mengangguk.
"Di dekat komplek rumah. Udah langganan semua orang soalnya. Tulang suka? Biar besok-besok ku bawa lagi," ucap David. Bapak tertawa kecil. "Kau emang paling tau ya. Tulang mu ini, suka sekali martabak. Sayangnya Boru Bapak si Uli, nggak suka. Katanya takut tambah gemuk hahahaha."
Wajahku memerah. Syukur aku berada cukup jauh di antara mereka. "BAPAK!" sentakku kesal. David melirikku kemudian tertawa kecil. "Padahal kalau dia gemuk juga, tetap cantik ya Tulang?" tanya David. Bapak kembali tertawa terbahak-bahak.
Aku bersyukur David hadir di tengah-tengah keluarga kami. Dia selalu bisa membuat Bapak senang. Semoga saja semesta memberi restu.
***
Pagi-pagi sekali, aku sudah mendengar televisi menyala. Aku keluar dari dalam kamar. Bapak tengah menonton dengan wajah yang sulit di artikan. Dia seolah-olah sedang menonton persidangan, karena wajahnya yang cemas bercampur emosi.
Aku duduk di sebelahnya. "Kenapa, Pak?" tanyaku sembari melihat layar televisi.
"Selamat pagi juga, Putri. Saya sedang berada di area TKP saat ini. Di mana, seperti yang Anda lihat dan pemirsa yang ada di rumah dari layar kaca, terlihat jelas bahwa gereja hangus terbakar, di duga karena adanya kesengajaan. Barang bukti yang di temukan, berupa belasan galon yang merupakan bekas bensin, dan beberapa alat pemantik yang di temukan meledak juga. Saat ini, Polisi sedang membawa pelaku pembakaran gereja untuk di minta keterangan, dan beberapa opini yang beredar dari TKP yang menyatakan, beberapa pelaku non Nasrani melakukannya, karena akibat ketidaksetujuan akan di bangunnya gereja di wilayah tersebut. Berhubung gereja ini juga baru berdiri sekitar sembilan minggu———”
Aku segera mematikan televisi. Bapak menatapku bingung. "Apa pulak kau matikan tivi itu hah? Bapak mu ini lagi serius nonton!" Bapak mencoba untuk meraih remot yang ada di tanganku.
Buru-buru aku menghindar. "Lebih baik Bapak istirahat lagi. Ini masih jam lima."
"Bah? Kok jadi kau yang ngatur? Ini lagi serius. Orang Islam itu lagi-lagi buat ulah——"
"Udah lah, Pak! Sampai kapan sih, Bapak fanatik kayak gini?"
"Kok kau malah nyalain Bapak? Kau sendiri tau kan. Gimana Bapak benci sekali dengan agama mereka? Merasa paling benar kali, Bapak tengok! Membakar rumah ibadah orang lain! Agama macam mana lah kayak gitu? Mana bener kaya gitu. Setres kali."
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Teen Fiction"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...