Aku benar-benar benci berada di dalam situasi seperti ini. David sama sekali tidak menyapaku di kelas. Padahal dia sempat berjalan bersebelahan dengan ku begitu baris berbaris di bubarkan. Aku menghela napas dalam-dalam. Ida menyenggol lenganku pelan.
"Kelen berantem lagi?" tanyanya. Aku mengernyitkan dahi. Tidak! Tidak ada kata bertengkar di antara kami saat ini.
"Kami baik-baik aja," kataku.
Ida menganggukkan kepalanya pelan. "David!" panggilnya tiba-tiba. David menoleh kemudian berjalan ke bangku kami. Sial!
"Kau mau ajari aku matematika minat? Berhubung nanti les terakhir ada pelajaran MTKP."
David menaikkan sebelah alisnya. Kemudian dia mengangguk. "Materi apa?" tanyanya.
Ida tersenyum lebar. "Jadi gini, Dav. Sebenarnya aku udah paham, tapi si Uli belum," katanya sembari merangkulku. Ya Ampun!
David melirikku sekarang. "Aku udah paham," kataku cepat. David mengangguk kemudian segera berlalu pergi dari sana. Aku segera mencubit lengan Ida. "Kau apa-apaan!" kataku setengah berbisik.
"Emang ada yang salah? Katanya enggak ada apa-apa. Kenapa kayak gitu tadi? HALAHHH. Kau nggak usah pura-pura. Kelen ada masalah kan? Nampak kali soalnya," katanya. Aku menghela napas berat.
"Enggak. Udah lah, nggak usah di bahas," kataku kemudian berbalik untuk mengambil catatan dari dalam tas. Tak sengaja pandanganku dan David bertubrukan. Buru-buru aku buang muka. Ya ampun. Makin ke sini, aku malah semakin merasa bersalah.
***
Masuk di les terakhir, pelajaran Matematika minat di mulai. Pelajaran yang sebenarnya tak terlalu ku pahami. Berbeda dengan David yang unggul di semua mata pelajaran.
Ku putar-putar pulpen di jari tanganku. Nanti kalau aku benar-benar putus dengan David, apa aku sanggup? Seperti nya tidak. Bagaimana mungkin aku bisa lupa tentangnya nanti? Sementara aku selalu bertemu dengannya di ruangan kelas ini.
Ah, aku malah membenci takdir kami berdua. Andai saja kami berdua satu iman. Mungkin tidak akan seberat ini. Ah tapi, kalau misal juga kami memang terlahir dengan satu ajaran agama yang sana, mungkin aku tak akan tertarik dengan David saat ini.
Senyum, suara tawa, tingkah laku, cara dia berbicara, sudah menjadi candu tersendiri bagiku. Oh Tuhan! Jika memang aku dan dia tidak ada di garis takdir yang sama, tolong buat diri ini segera melupakannya. Aku tak pernah meminta izin untuk mencintainya. Apa aku harus izin dahulu supaya bisa melupakannya?
"ROULI!"
Panggilan itu membuatku segera tersadar. "Berdiri kau di sana!" sentak Bu Henny. Pada akhirnya aku berdiri. Ya ampun! Kejadian lagi.
"Saya paling nggak suka kalau ada siswa yang tidak mengikuti pelajaran saya dengan baik! Kau ini! Sudah sekolah gratis, bukannya berterima kasih! Ini malah melamun terus. Kau mikiri apa sih hah? Sudah kelas tiga! Mestinya sudah tau mana yang baik dan yang buruk. Sekali lagi kau kayak gitu saat saya menerangkan di depan, kau ku tendang keluar!"
Sial!
"Sekarang, kau maju! Kau kerjakan soal di papan tulis!" perintahnya. Aku menelan salivaku kasar. Oh ayolah! Cita-citaku memang menjadi seorang Dokter. Tapi aku tak suka dengan yang namanya matematika! Berbeda lagi kalau pelajaran kimia dan biologi. Itu baru menjadi pelajaran yang sangat ku gemari.
Aku maju ke depan. Semua mata tertuju padaku sekarang. Aku mengerjakan soal yang sebetulnya tak ku pahami jelas.
Selesai. Benar atau tidak aku tak tau. Yang penting sudah berusaha. "Jawabannya masih salah. Itu makanya kalau guru menjelaskan, di perhatikan baik-baik! Begini lah siswa-siswi di Indonesia. Kalian itu penerus bangsa. Tapi belajar saja tak serius! Pantas Indonesia tidak maju sampai sekarang!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Teen Fiction"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...