"Saya mau minta cuti, Bu."
Aku memberikan satu amplop berisi surat ijin tak masuk kerja. Perempuan berkacamata di hadapanku menatapku.
"Kamu yakin, Rouli?"
"Iyaa. Saya yakin sekali, Bu. Sepertinya sudah waktunya saya bertemu keluarga saya di kampung."
Tanpa kata apa-apa lagi, Bu Direktur segera membuka amplop pemberianku, kemudian segera menandatangani surat izinku.
"Semoga kamu tidak berubah pikiran, Dokter Rouli. Karena sejak kamu menjadi bagian dari rumah sakit ini, ini pertama kali kamu meminta cuti. Saya tidak akan masalah jikapun kamu cuti sebulanan. Mungkin itu sudah menjadi subtitusi dari hari libur kamu sebelumnya yang kamu lewatkan."
Aku tersenyum simpul. "Terima kasih, Bu Direktur."
Aku meninggalkan ruangan besar itu, dengan senyum mengembang. Aku kembali ke ruang kerja untuk segera bersiap. Mungkin aku harus segera mengambil tiket penerbangan untuk berangkat besok pagi.
Aku menghentikan langkahku ketika melihat Bang Dion duduk menunggu di depan pintu. Dia segera berdiri begitu melihat aku datang. Terhitung hampir sebulan lamanya, setelah kejadian meninggalnya Bu Damayanti, kami tidak pernah bertemu lagi.
Hari itu, aku ikut berpartisipasi dalam proses pemakaman Bu Damayanti. Syukur saja berkat kehadiran suaminya, anak Bu Damayanti memilih untuk merelakan Bu Damayanti. Dia juga meminta maaf padaku hari itu saat di pemakaman. Hal tersebut, membuat rasa bersalah ku sedikit berkurang.
"Apa kabar, Bu Dokter. Udah hampir sebulan kita nggak ketemu."
Aku memilih melanjutkan langkahku ke arahnya. Senyumku mengembang. "Baik. Saya baik."
"Senang mendengar nya. Sebenarnya saya ingin menghubungi kamu. Tapi saya takut kamu risih atau mungkin saya menganggu waktu kerja kamu. Ah iya, saya baru dari Yogyakarta. Saya bawa oleh-oleh."
Aku mengernyit saat dia mengulurkan sebuah paper bag, padaku. "Bang Dion baru dari Jogja?" tanyaku.
Dia mengangguk kecil. "Iya, Dek. Ada tugas dari atasan."
Aku mengangguk kecil kemudian menerima paper bagnya. Dia memberiku sebuah hoodie?
"Ah terima kasih banyak, Bang Dion."
Dia tersenyum simpul. "Biar kamu sekali-sekali pakai hoodie. Biar nggak jas Dokter aja."
Aku tertawa kecil. Ah mengapa sekarang keadaan menjadi canggung?
"Emm, kamu sibuk? Atau ada kesibukan apa gitu?" tanya Dia.
Aku menggeleng. Jelas saja aku akan segera pulang hari ini. "Apa kamu tidak keberatan jika kita menikmati teh mungkin? Atau kopi? Oh atau pangsit kesukaan kamu di deket rumah sakit?" tawarnya.
Aku menggeleng kecil. "Saya mau ke bandara hari ini."
Dia mengernyit kecil. "Bandara? Kamu mau ke mana?"
"Sepertinya saya harus pulang untuk menemui Bapak ke Samosir. Saya sudah tak pernah mengunjunginya semenjak menjadi Dokter. Kami terakhir bertemu saat wisuda." Aku tersenyum kecut. "Saya merasa sudah sangat egois karena lebih mengutamakan pekerjaan dari pada Bapak yang selalu memintaku pulang."
Dia tampak menganguk-angguk. "Bu Dokter, hm—ada yang mau saya sampaikan."
Aku menatapnya yang kini tengah gugup? Aku tersenyum tipis. "Iya Bang Dion?"
"Saya—saya sebenarnya, hm saya—kamu hati-hati."
Aku kembali mengangguk. "Kalau begitu, saya pulang dulu ya Bang? Kayanya taksi pesanan saya udah nunggu di luar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Teen Fiction"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...