Terhitung puluhan kali aku melempari batu kerikil ke dalam danau. Aku baru saja pulang dari rumah sakit untuk menengok Bapak. Ini sudah menjelang sore, namun keadaan Bapak masih sama seperti semalam.
Berulang kali aku mengusap pipiku yang kini basah karena air mata. Katakan saja aku lemah. Karena itu memang kenyataannya.
"Uli,"
Panggilan itu membuatku segera menoleh. "Da-david?" Bibirku bergetar.
"Ini aku, Kean."
Aku segera memejamkan mataku sekilas. Sial! Bagaimana mungkin aku menyebut Kean, David?!
"Hm, K-kean. Kau ngapain ada di sini?" tanyaku terbata.
Kean tertawa kecil. "Emang nggak boleh? Kan ini fasilitas umum."
Aku menggaruk tengkukku tak enak. Kean duduk di sebelahku. "Bapakmu masih di rumah sakit?" tanya dia.
Aku mengangguk kecil. "Nggak ada perubahan," ujarku.
"Terkadang kita nggak tau rencana Tuhan kayak mana. Tapi percayalah kalau rencana itu selalu yang terbaik," ucap Kean kemudian tersenyum. "Itu kalimat yang selalu ku ucapkan untuk menyemangati diriku sendiri," sambungnya seraya tertawa kecil.
Aku tersenyum kecut.
"Sekarang itu, mau di ucapin semangat yang kaya gimanapun, kalau udah cape tetep cape." Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan.
"Jadi, aku bisa apa?" tanya Kean.
Aku bingung dengan ucapannya barusan. Segera ku tatap dia.
"Maksudnya?" tanyaku dengan kening berkerut.
"Aku bisa apa untuk membuatmu tersenyum?" tanya Kean. Aku seketika termenung.
"Mau ku bacakan puisi? Dongeng? Atau apa?" tanya dia semangat. Aku menghela napas dalam-dalam. "Kaya anak-anak aja di bacakan dongeng segala," kataku sembari tertawa. Pandanganku terfokus pada danau.
Dia tersenyum. "Kau cantik kalau sedang tertawa, Uli. Sangat cantik." Segera aku memalingkan wajahku ke arahnya.
***
Aku memandangi Bapak yang masih betah terlelap di bangsalnya. Ku usap jemarinya pelan. "Bapak ...," panggilku lirih. Hanya mesin monitor yang berbunyi. Ku kecup punggung tangan letih itu pelan.
"Uli minta maaf," ujarku. Mataku memejam. "Nggak bosan Bapak tidur? Kangen kali lah Uli denger kau ngomong, Pak."
Seseorang mengusap punggungku. Segera aku menoleh. Bang Tobok sudah datang ternyata. Dia meminta ijin untuk pergi ke ladang tadi.
"Uli, kau udah makan?" tanya dia.
Aku menggeleng kecil. "Nggak lapar lah, Bang."
"Abang tau kau khwatir sama Tulang. Tapi kalau kau nanti sakit, Abang harus khwatir sama kelen berdua lah," katanya di barengi tawa kecil.
Dia kembali mengusap-usap punggungku. "Kau makan dulu ya? Abang bawa nasi dari rumah. Biar aku yang jaga Tulang," sahutnya.
Aku melepaskan genggaman tangan Bapak. "Uli titip Bapak ya?" ujarku. Bang Tobok mengangguk kecil.
***
Aku melangkah ke arah toilet rumah sakit. Suara langkah kaki dari belakangku, yang di sertai bayangan tubuh seseorang membuatku segera menengok ke belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Roman pour Adolescents"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...