Dua belas hari yang lalu, ujian akhir sekolah bagi kelas tiga sudah berlangsung. Dan hari ini, adalah ujian penutup. Seluruh siswa kelas tiga baris berbaris di lapangan yang di komandoi oleh Bapak kepala sekolah.
Aku dan Ida menuju barisan dan memilih untuk berbaris agak di tengah. Suara mikrofon mulai terdengar. Semua siswa-siswi mendadak hening dan fokus mendengarkan arahan dari Bapak kepala sekolah.
"Selamat pagi," sapanya.
Seluruh siswa siswi maupun beberapa guru yang ada di sana bersahutan menjawab, "Selamat pagi, Pak."
Bapak kepala sekolah tampak menghela napasnya sebelum memulai arahannya. Bahkan suara helaan napasnya terdengar jelas melalui mikrofon.
"Karena ini adalah hari terakhir untuk siswa-siswi sekalian, jadi Bapak dan seluruh guru, berharap besar kepada anak-anak semua. Bapak berharap setelah ujian terakhir ini selesai, ananda semua bisa menjaga nama baik sekolah kita di luar sana. Mungkin nanti di antara kalian akan ada yang memilih untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, bekerja, atau bahkan malah menikah."
Dia kembali menghela napasnya. "Bapak berharap penuh. Setelah kelulusan kalian nanti, tidak ada di antara kalian yang memilih untuk menikah. Kalian sendiri tahu. Umur kalian itu belum sepenuhnya pantas untuk berumah tangga. Bapak berharap penuh kalau ananda semua bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan. Jikapun orang tua tidak mampu, kalian juga bisa bekerja. Dan tahun depannya kembali melanjutkan pendidikan setelah dana terkumpul."
Lagi, dia menghela napasnya.
"Hanya ini yang mampu Bapak sampaikan. Semoga, arahan ini bermanfaat untuk ananda sekalian dan membuka hati serta pikiran kalian. Bapak tau, ini bukanlah hal yang mudah. Tapi pabila kita mau mencoba, besar kemungkinan jika kita tidak akan gagal. Gagal memang hal yang begitu berat. Tapi kalian juga harus paham, bahwa .... kegagalan adalah kunci keberhasilan."
Dia tersenyum simpul. "Demikian arahan Bapak, Shalom, horas."
Tepuk tangan terdengar meriah. Aku menghela napas dalam-dalam.
Dalam hitungan hari, aku akan meninggalkan sekolah ini dan akan menjadi alumni. Ida menatapku dengan tatapan sedih, mungkin?
"Kayanya aku bakal masihol sama sekolah kita ini. Yaaa, walaupun guru-gurunya bikin kesel, tapi tetap nya aku sedih. Apalagi nanti kalau lihat kawan-kawan kita yang nangis di hari kelulusan."
Aku tersenyum kecut. Mungkin beberapa dari kami akan merindukan sesi di mana semua siswa-siswi sibuk belajar saat jam istirahat karena akan ada ulangan mendadak. Ruangan yang ribut karena semuanya koar-koar untuk menghafal ayat-ayat Alkitab.
Ruangan yang gaduh saat jam pelajaran kosong. Yang selalu beralasan ingin ke toilet namun mipir ke kantin.
Karena tak ingin di hukum saat terlambat, beberapa siswa-siswi akan memanjat tembok, karena membersihkan kamar mandi itu benar-benar menguras tenaga.
Mungkin aku akan merindukan puisi-puisi cinta di dalam laci meja, dan—mungkin aku akan merindukan David.
Merindukan David yang mengajariku pelajaran fisika di perpustakaan, mengajakku memanjat tembok, duduk berdua di dekat lapangan volly, dan—mungkin aku akan merindukan bagaimana aku bisa jatuh cinta pada laki-laki itu.
***
Begitu bel pulang sekolah berbunyi, aku dan Ida memilih untuk pergi ke pasar atau yang sering di sebut Pajak di Samosir. Karena hari ini cuaca sedang mendung, maka aku dan Ida memilih untuk membeli bandrek hangat yang terkenal dengan jahe merahnya yang khas di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Teen Fiction"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...