Pagi-pagi sekali, aku bangun. Bapak masih tidur. Aku mengikat rambutku kemudian segera melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Kira-kira setengah jam di dapur, semuanya sudah siap di hidangkan. Mungkin karena bau masakan, bapak datang ke dapur dengan sarung di pinggang. Dia menatapku kebingungan.
"Masih jam lima. Kok cepat kali kau masak Boru?" tanyanya. Aku terkekeh kecil. "Nggak. Nggak apa-apa. Mumpung Uli bangun cepat. Uli juga nggak ngantuk lagi. Yaudah deh, langsung masak," jawabku. Bapak mengangguk-angguk pelan.
"Bapak masih ngantuk?" tanyaku. Dia mengangguk. "Nanti, kalau kau mau pigi ke sekolah, kau hati-hati. Bapak mau lanjut tidur," ucapnya. Mungkin karena efek kelelahan. Aku hanya mengangguk.
Tepat jam enam pagi, aku sudah siap sedia di depan rumah. Aku mengeluarkan sepeda dari gudang. Keningku mengerut. Astaga! Bannya kempes. Pasti karena efek semalam.
Sekarang, bagaimana aku ke sekolah? Jam segini, bengkel belum ada yang buka. Kalau harus menunggu bengkel buka, mungkin aku sudah telat ke sekolah. Aku ingin meminta tolong pada bang tobok, tapi rumahnya tertutup.
Bapak masih tidur. Aku mana tega membangunkannya. Karena tidak ada pilihan lain, aku menyimpan kembali sepeda ke gudang. Aku melangkah pergi dari pekarangan rumah.
Ini yang tidak aku suka. Jalanan macet. Banyak kendaraan lalu lalang. Aku mengeratkan pegangan di tasku. Ku lirik jam tanganku. Sudah setengah tujuh. Sepertinya aku akan terlambat hari ini.
Begitu angkot berhenti di hadapanku, aku buru-buru naik. Udah sempit-sempitan lagi. Sumpek! Bolak balik aku mencek jam tanganku. Sekitar jam 07:11 menit, aku segera turun kemudian membayar ongkos. Buru-buru aku berlari menuju gerbang, yang kini tertutup.
"Yaaahh, Pak. Buka gerbangnya napa?" tanyaku. Sialnya, hanya aku sendiri yang terlambat. Malunya nggak bisa di bagi-bagi ke orang lain!
"Mana bisa. Makanya disiplin dalam waktu!" bentaknya.
"Pak, tadi macet loh. Makanya saya telat," kataku.
"Yang lain juga kena macet nggak telat. Banyak kali omong kau. Bilang aja telat bangun. Makanya, pake jam dinding besar-besar di rumah kelen!" Setelah mengatakan hal tersebut, Satpam tersebut melangkah pergi entah ke mana.
Aku menghela napas dalam-dalam. Sekarang bagaimana??
"Kasihan terlambat."
Mendengar penuturan itu, membuatku segera menoleh. Keningku mengerut. "David?" ucapku kaget.
Dia tertawa kecil. "Kasihan," katanya lagi yang membuatku berdecak kesal. "Kau juga telat. Nggak sadar?" tanyaku. Dia menggeleng pelan. "Siapa bilang aku telat? Aku nggak telat. Buktinya, aku nggak gendong tas," katanya.
Aku menatapnya kebingungan. Benar sih. Dia sama sekali tidak menggendong tas. Dia berjalan ke arahku. "Aku di sini, untuk mu."
Penuturannya membuatku kebingungan. "Maksudnya?" tanyaku.
"Dari tadi, aku tungguin kau. Tapi sampai jam tujuh lewat, nggak datang. Yaudah dengan inisiatif penuh, aku nungguin kau di sini. Karena kau nggak mungkin nggak sekolah," ucapnya.
Aku terdiam. Dia segera meraih tanganku. "Apa?" tanyaku. "Mau masuk nggak?" tanya David. Aku menatapnya bingung. "Masuk? Emang bisa? Dari mana?" tanyaku beruntun.
"Ada. Kau nggak tau," tuturnya.
Sekarang dia malah menarikku ke arah belakang sekolah. Kira-kira sebelas langkah lagi, kami sampai di tempat di mana tukang cendol, lappet panas, rujak Batak, sate ayam dan lainnya, yang di jual di gerobak. Hanya di pisahkan oleh barang-barang bekas. Seperti kompor rusak, kardus-kardus bekas, seng-seng berkarat, dan lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Teen Fiction"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...