#Kecupan

12 1 0
                                        

Baru pagi-pagi begini, aku sudah mendengar bunyi panggilan telepon. Aku menoleh kecil pada ponsel ku yang terletak di atas meja. Itu dari David. Dia sudah menghubungiku mulai semalam. Ada panggilan tak terjawab hingga puluhan kali. Aku menghela napas, kemudian membaca belasan pesan darinya.

Dan pesan terakhir, membuatku buru-buru bangkit.

David

| Aku di depan
|Aku tau kalau kau udh bangun

Buru-buru ku cek jendela. Benar saja. Dia sudah berdiri di depan pintu dengan paper bag di tangannya. Aku berdecak kesal kemudian segera pergi keluar. Bahaya jika Bapak tau, David datang ke sini.

Begitu ku buka pintu, David menatapku dengan senyum mengembang. "Dav, pulang ya?" pintaku. Dia menatapku kebingungan. "Maksudnya?" tanya dia.

"Please. Dengerin aku kali ini. Kau harus pulang sekarang," kataku. Dia menggeleng cepat. "Yaa kenapa kau nyuruh aku pulang? Aku baru aja sampai. Masa langsung pulang. Aku bawa kado Natal. Maaf nggak bisa datang semalam. Aku jagain Dimas," jelasnya.

Bahkan aku tak tau kalau dia juga sebenarnya ingin datang.

"Aku bawain kado Natal, biar kayak sinterklas," katanya lagi sembari mengangkat paper bag di tangannya.

Aku menghela napas panjang. "Aku lagi nggak bercanda, Dav. Kau pulang yaa??"

"Kenapa sih, Uli? Apa yang salah?"

"Besok ku jelaskan."

"Kenapa harus besok? Sekarang kan bisa."

"Nggak bisa. Aku —"

"Mau ngapain kau?" Itu suara Bapak. Terkesan sangat sarkas dan dingin. David mengembangkan senyumnya. "Mau kasih kado Natal sama Tulang," kata David semangat.

David berjalan ke arah Bapak. Hendak memberi kado yang dia bawa, namun Bapak malah melemparkannya. Hal tersebut membuat David kaget.

"Tulang—"

"Nggak sudi aku dapat kado dari kau!" kata Bapak.  David mengutip paper bag tersebut. Di tatapnya Bapak bingung. Kemudian dia melirikku.

"Bapak tau. Bapak udah tau kalau kau Islam," jawabku. "Sekarang kau pulang! Pulang!" usir Bapak. David menggeleng. "Aku bisa jelasin Tulang!"

Bapak menggeleng. "Tak butuh aku!" sentaknya. David bahkan segera sujud di kaki Bapak. "David bohong karena enggak mau berpisah dengan Uli, Tulang," jawabnya.

Bapak mendorong tubuh laki-laki itu. "Mau kau jilat kakiku sekalian, tak kan pernah aku setuju, Boruku berpacaran dengan laki-laki seperti mu!" makinya.

Air mataku jatuh begitu saja. "Pak .... Maafin David ya? Bapak tau sendiri. David orang baik," kataku lirih.

"Kecewa bapak sama kau Uli! Berapa kali bapak bilang? Jangan sekali-kali menjalin hubungan sama orang yang berbeda keyakinan sama kita! Buat kau David, mulai sekarang jangan pernah kau temui boruku! Sempat ku tau masih kau dekati dia, ku penggal kepala mu!"

"Bapak, udahhh! David anak baik-baik!" Aku menangis histeris.

"Tapi dia, tetap beragama Islam! Semua agama Islam samaa!" kata Bapak dengan napas naik turun.

"Bapak! Ayo ubah mindset Bapak! Indonesia itu tercipta beragam agama dan budaya! Enggak ada salahnya—"

"Mau kek mana pun, kau ngomong .... Bapak nggak setuju kau dekat sama dia!"

Bapak kemudian segera menarikku masuk. Aku berusaha mempertahankan posisi. "Pak, dengerin lah dulu David ngomong," pintaku. Bahkan air mataku sudah membasahi pipi.

Because of Fate [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang