#Pangsit

17 1 0
                                        

Tatapan kami kembali bersirubuk. Persis seperti kejadian saat itu di dalam bus. "Rouli?" sapanya pada akhirnya. Aku mengangguk pelan. 

"Kamu apa kabar?" Dia kembali berucap.

"Saya, baik."

Dia tersenyum. "Kamu dokter yang menangani keponakan saya?" tanya dia.

Aku mengangguk kecil. Ah mengapa aku menjadi gugup tak menentu?

"Dia baik-baik saja, Bu Dokter?" tanya dia lagi. Aku memilih untuk mengangguk. "Tapi, kita harus rontgen dulu, supaya tau bagian tubuh mana yang tulangnya bermasalah."

Dia mengangguk, kemudian melirik Rafael dengan tatapan tajam. "Om kan udah bilang, Rafa. Habis pulang sekolah langsung ke rumah. Bukan malah naik-naik sepeda ke jalan raya! Kalau kayak gini siapa yang repot? Siapa yang khawatir? Om kan! Kamu tau gak, Om sampai ijin ke komandan gak bisa ikut tugas ke Bandung karena kamu!"

Aku hanya bisa melihat Michael merepet seperti seorang ayah. Dan, tunggu dulu. Ijin ke komandan kata dia? Dia seorang polisi?

"Iyaa, Om. Maafin Rafa. Besok-besok nggak lagi deh."

"Janji aja terus! Nggak pernah di tepati."

"Tapi kali ini, Rafael jera, Om. Nggak mau masuk rumah sakit lagi."

"Masuk rumah sakit aja terus. Nanti Om suruh Dokternya suntik kamu sampai seratus kali."

"Ampunn, Omm. Rafael nggak mau di suntik." Anak laki-laki itu kini menatapku dengan pandangan memelas. "Bu Dokter, jangan suntik aku ya? Dulu aku pernah di suntik di sebelah pantat. Aku sampai gak bisa tidur."

"Nggak usah di denger, Dok. Suntik aja dia. Khususnya daerah pantat. Suntik sampai lima puluh kali."

"OMMMMM!!"

Aku hanya geleng-geleng kepala melihat keduanya.

***

"Seluruh tubuh Rafael aman-aman saja setelah di periksa melalui mesin rontgen. Dia hanya butuh istirahat untuk malam ini di rumah sakit agar lukanya segera pulih. Besok juga dia sudah bisa pulang," jelasku.

Michael mengangguk-angguk. "Terima kasih," ujarnya.

Aku tersenyum kecil. "Sudah kewajiban seorang dokter seperti kami untuk melakukan yang terbaik pada pasien."

Dia tersenyum simpul.

"Em, apa kamu sibuk sekarang?" Dia bertanya dengan nada seperti orang—gugup?

Aku melirik jam tanganku. Sudah jam lima sore.

"Jadwal saya di rumah sakit udah hampir selesai," jawabku.

"Jadi, kalau saya ngajak kamu buat makan bareng apa boleh?" tanya dia hati-hati.

Aku menimang-nimang tawarannya barusan. Sebetulnya, aku ingin segera pulang sekarang. Karena sejak subuh tadi, aku sudah ada di rumah sakit bekerja. Sepertinya menikmati sore hari dengan secangkir coklat panas sangat tepat untuk di lakukan sore ini.

"Kalau enggak bisa, gapapa. Saya juga nggak maksa." Michael kembali berucap.

"Boleh-boleh. Tapi, saya mau beres-beres dulu," ujarku yang di balas anggukan olehnya. Beberapa menit setelah merapikan semua barang-barang ku, aku memilih pergi bersamanya, sementara Rafael sedang tertidur lelap di bangsalnya.

Kami menikmati pangsit goreng di sebuah restoran di dekat rumah sakit. Aku yang mengusulkan tempat ini, karena pangsit di sini benar-benar juara. Kami berdua duduk berhadapan di meja sudut. Bangku paling ku suka, karena dari sini kita bebas melihat jalanan Jakarta dengan gedung-gedungnya yang menjulang tinggi.

Because of Fate [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang