Begitu sampai di rumah sakit, buru-buru aku melangkah ke ruangan Bu Damayanti. Beberapa orang yang masih berjaga di rumah sakit, menatapku kebingungan.
Yaa! Dengan mengenakan piyama tidur, jas kerja, serta sneli di leher, aku berlarian di koridor rumah sakit seperti seseorang yang terburu-buru karena hampir ketinggalan bis.
"Nara?" Aku menghampiri Nara yang tengah duduk termenung di bangku tunggu.
"Kamu kenapa di luar? Bu Damayanti gimana? Dia baik-baik aja kan?" tanyaku cemas.
"Bu Dokter, Bu Damayanti sudah meninggal. Almarhum menghembuskan napas terakhirnya, delapan menit yang lalu."
Aku segera mematung.
"Sus? Maksud kamu—" Buru-buru aku masuk ke dalam untuk men-cek keadannya. Air mataku seketika jatuh.
Wajah Bu Damayanti berubah menjadi pucat. Tubuhnya membiru dan dingin. "Ke-kenapa bisa?" lirih ku.
"Tadi saat saya ke toilet, dia baik-baik saja Dokter. Namun setelah saya kembali, dia tiba-tiba kejang-kejang dan susah bernapas. Saya sudah mencoba untuk memberikannya alat bantu pernapasan, tapi sia-sia Dok."
Air mataku jatuh memenuhi pipiku. Ini salahku! Coba saja jika aku datang lebih cepat, mungkin Bu Damayanti tidak akan berakhir seperti ini!
Badanku seperti hampir tumbang. Kepalaku mendadak pening. "Bu Dokter." Nara tampak menggapai tubuhku, dan—semuanya gelap.
***
Aku mengerjap berulang kali. Nara pasti membawaku ke ruang kerjaku. Aku hendak bangkit, namun seseorang menahan tanganku.
"Kamu mau ngapain? Istirahat aja dulu."
Aku terkejut saat melihat Bang Dion di sebelahku. "Saya udah dengar kejadian yang menimpa pasien kamu." Bang Dion kembali berucap.
"Ini semua salah saya." Aku menjauhkan pandanganku darinya.
"Hei, ini bukan salah kamu. Ini memang udah takdir dia."
Aku berdecak. "Bang Dion nggak ngerti gimana rasanya jadi Dokter yang gagal. Bang Dion nggak ngerti gimana terlukanya hati keluarganya nanti, setelah saya mengatakan fakta bawa ibunya meninggal!"
Air mataku jatuh.
Aku teringat dengan anak laki-laki yang bolak balik ke rumah sakit untuk mengetahui keadaan ibu tirinya. Dia bahkan mengatakan jika Bu Damayanti adalah orang paling berharga di hidupnya saat ini.
Aku tak tau di mana anak itu sekarang, apa dia sudah tau keadaan ibunya apa tidak. Karena sebelumnya, aku sudah berjanji akan melakukan yang terbaik pada Bu Damayanti.
Nyatanya apa? Aku membuatnya meninggal, dan sudah mengingkari janjiku pada anak itu. Aku memejamkan mataku, seraya merapalkan kata maaf berulang kali.
"Mungkin kamu butuh menenangkan diri sekarang. Kata Suster, kamu pingsan karena belum makan apapun. Saya sudah membeli beberapa roti dan satu kotak susu. Di makan, habis itu istirahat yang banyak. Kamu harus memikirkan kesehatanmu sendiri sebelum memikirkan kesehatan orang lain. Kalau kamu butuh apa-apa, saya ada di mobil." Suara indah itu mengalun sempurna. Membuat hati ini sedikit menghangat.
Bang Dion tampaknya akan meninggalkan aku sendirian di sini. Aku melihat jam tanganku. Sudah jam setengah dua.
"Bang Dion," panggilku lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Teen Fiction"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...