Aku duduk di atas motor dengan David. Laki-laki itu menarik tanganku untuk berpegangan dengan pinggangnya. "Enggak usah. Kayak gini juga bisa," kataku menolak sembari mengeratkan pegangan di pinggiran seragamnya. "Kenapa?" tanyanya lirih. Aku menggeleng.
Oh iya. David memberiku satu helm tadi. Helm baru sepertinya. "Helm nya, enggak bagus? Warnanya enggak cantik? Nanti ku beli yang baru," ucapnya. Buru-buru aku menggeleng. "Ini bagus. Enggak perlu beli yang baru lagi," kataku.
Keadaan kembali hening.
"Yang tadi enggak usah di pikirkan," ujarnya. Persis seperti apa yang ku pikirkan saat ini. "Nanti ada saatnya, aku ngomong sama Tulang. Untuk saat ini, biar seperti ini dulu," sahutnya.
"Kenapa harus di tunda? Kan bagus, kalau Bapak segera tahu," kataku.
"Aku tau, Uli. Aku tau, kalau nanti juga kita bakalan pisah. Tapi, ijinkan aku menghabiskan lebih banyak waktu denganmu. Bukan sebagai teman yang dulu memiliki perasaan yang sama. Tapi sebagai pasangan paling bahagia di bumi," tuturnya.
Ah, aku tau ini berlebihan. Tapi air mataku dengan seenaknya mengalir. Ku dekap David. Tak perduli jika ada orang yang melihat kami. Ku sandarkan kepalaku di punggungnya yang lebar.
***
Begitu sampai di sekolah, segera aku mengajak David ke perpustakaan. Karena perpustakaan adalah tempat favorit Kean. Dia pasti ada di sana sekarang.
"Kau kenapa begitu yakin, kalau dia ada di sana sekarang?" tanya David.
Aku teringat mengenai puisi yang sempat Kean berikan. Puisi tentang pertemuannya dengan orang yang dia suka di tempat favoritnya. Dan itu benar-benar terjadi. Aku bertemu dengannya, saat itu di perpustakaan. Ah mungkin, jika Kean memiliki pasangan nantinya, pasti perempuan itu adalah orang yang sangat beruntung.
Begitu sampai di perpustakaan, segera aku menarik David untuk berkeliling. Mengingat-ingat di mana kemarin persis tempat aku bertemu dengan Kean.
Lima menit kami berkeliling. Dan Kean tidak ada di sini. David menghela napasnya. "Nanti aja, Uli. Mungkin dia belum datang," katanya.
Dengan helaan napas, aku mengangguk. Sepertinya juga begitu. Begitu kami berbalik, kami malah melihat Kean yang berjalan ke arah perpustakaan.
Buru-buru ku tarik tangan David, untuk bertemu dengan Kean. Bahkan sekarang, Kean menatap kami kaget.
"Hai," sapaku basa basi. Dia memandangi kedua tangan kami yang saling bertautan. Buru-buru ku lepas.
Kean membuang pandangannya. "Kee, kau udah sembuh?" tanyaku lagi. Karena saat David si skors, Kean juga tak masuk karena sakit. Dia berdeham singkat. Kean hendak melangkah, namun lagi-lagi aku menahannya.
"Aku mau ngomong. Lima menit ajaa," bujukku. "Aku sibuk. Bentar lagi juga mau baris. Nanti saja kalau mau ngomong," ucapnya tegas.
"Kean. Sebenarnya, gue yang mau ngomong ke lo," David akhirnya angkat suara. Kean menatap kami berdua. "Jangan cari gara-gara," katanya lugas. Pandangannya juga berubah menjadi tajam ke arah David.
"Kali ini enggak. Ini murni karena gue mau ngomong sama lo," sambung David.
"Kee. David mau ngomong. Lima menit ajaa. Yaa?" Aku kembali membujuknya.
Kean menghela napasnya. "Oke. Mau ngomong apa?" singkatnya.
"Gue ngaku salah kemarin. Gue minta maaf," kata David. "Semoga lo bersedia memaafkan," lanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Teen Fiction"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...