#Ladang

235 81 7
                                    

David menatap kami kebingungan. “Dav. Di Samosir, kereta itu motor. Sementara mobil itu, di sebut motor,” ucapku. Dia cukup kaget, namun pada akhirnya dia mengangguk-angguk.

“Enggak, Om. Kami tadi naik sepeda,” katanya pada akhirnya. Bapak lagi-lagi kaget. “Bah? Macam mana pulak? Emang bisa sepeda si Uli itu boncengan?” tanyanya.

David mengangguk sekali. “Ya bisa, Om. Kalau nggak bisa, mana lah kami bisa sampai,” kata David.

Bapak kembali tertawa. Dan suara tawa itu, menjadi candu tersendiri. Bahkan aku pernah bercita-cita, bisa mendengar tawa bapak setiap hari. Sesederhana itu.

Siang ini, David dan Bapak bermain catur. Mereka berdua sangat dekat, padahal mereka baru kenal beberapa hari. Tapi, sudah seperti kenal bertahun-tahun.

“Ah macam mana pulak. Ini ku tarok pion. Harusnya kau kalah, David!” kata Bapak yang membuat David tertawa kecil. “Nih, saya kasih kuda,” kata David.  Begitu lah kira-kira percakapan keduanya. Aku menghampiri keduanya, kemudian meletakkan sepiring pisang rebus yang baru matang. Masyarakat Samosir memang menjadikan pisang kepok rebus sebagai cemilan. Dan bapak sangat menyukainya.

 Aku duduk agak jauh dari keduanya. Kalau begini ceritanya, bagaimana mungkin aku masih tetap membenci David? Dia membuat wajah Bapak berseri-seri. Dia membuat Bapak selalu tersenyum, tertawa.

Tanpa aku sadari, David duduk di sebelahku. “Hei,” panggilnya. Aku mengerjapkan mataku berulang kali, karena kaget. David tertawa kecil. “Udah puas memandangiku?” tanyanya yang nyaris membuatku tertawa. 

Hei! Aku melihat bapak. Bukan melihatnya. David tertawa kecil. “Aku bercanda,” ucapnya. Kami saling bertatapan sekarang. Bapak tidak ada di sana. Ke mana Bapak, aku tak tahu. Yang ku khawatirkan sekarang adalah, mengapa jantung ini berdetak lebih kencang ketika menatapnya dari hari sebelumnya?

“Berterima kasihlah. Karena kau punya Bapak yang hebat. Itu merupakan bentuk syukur yang paling sederhana, Uli.” Ucapan David membuatku terenyuh. “Dan, satu hal lagi. Berterima kasihlah, karena Bapakmu bukan manusia brengsek  yang egois,” ucapnya lagi, yang ku tebak menggambarkan sosok ayahnya.

Keadaan kembali hening. Bapak datang, kemudian mengajak kami pergi ke ladang. David dengan semangat empat lima, segera bangkit. “Siapp, Om,” ucapnya.

 Aku, David, Bapak, dan Bang Tobok pergi berjalan kaki menuju ladang. Sesekali David menanyakan beberapa hal konyol yang membuatku tertawa terbahak-bahak. “Kadang aku bingung. Air kelapa itu, sumbernya dari mana ya? Masa dari air hujan?” tanya David yang membuatku tertawa.

“Kan itu udah takdirnya. Buat apa di tanyain lagi?” tanyaku.

David kembali menanyakan hal yang sama sekali tidak penting. “Dulu pas ayam lahir ke dunia, yang lebih dulu keluar itu apa? Telur atau ayamnya ya?”

"Ya ayamnya lah,” kataku. David menggeleng. “Salah besar. Ayam itu kan berasal dari telur. Berarti yang lebih dulu keluar itu yah telur,” ucapnya.

“Kalau nggak ada ayam, yang buat telurnya siapa cobak? Udah ah. Nggak tau aku,” ucapku kemudian berjalan lebih cepat. Kesal sedikit.

Namun, David malah mengimbangi langkahku, kemudian segera menggenggam pergelangan tanganku. Ada hal lain yang muncul di dalam permukaan hati. Bergetar seperti terkena setrum. Perutku sepertinya di terbangi banyak kupu-kupu.

David mengeratkan genggamannya. Sekarang, dia malah mengayun-ayunkan tangan kami berdua ke udara, yang membuatku kembali tertawa. Hal yang sederhana, namun mampu membuatku merasa sebahagia ini.

Kami sampai di ladang. Tentunya David sudah melepaskan genggaman tangannya. Bapak dan bang Tobok segera mengambil alih untuk mengambil cangkul. David menatapku kebingungan. “Aku ngapain?” tanyanya.

Aku menggerakkan dagu. “Kau tanya Bapak ku sana,” kataku. David mengangguk kecil, kemudian menghampiri Bapak.

Aku memilih untuk duduk di pondok. Sejak dulu, bapak tak pernah membiarkanku ikut bekerja di ladang. Katanya, anak perempuan itu hanya bekerja di dapur. Bahkan pernah saat aku keras kepala ingin membantu bapak mencangkul, bapak malah marah-marah dan mendiamiku hingga satu malam. Sejak itu, aku jera. Aku benar-benar tak mau bertengkar dengannya lagi.

David menghampiri aku. Dia membawa satu karung goni. Tidak terlalu besar. Ku tebak, di dalamnya ada pupuk. Napas laki-laki itu naik turun. Dia menggendong karung tersebut mulai dari bawah, hingga ke tanjakan. Untuk Bang Tobok itu mungkin sudah hal biasa, namun David? Dia malah mandi keringat sekarang. Sangat menyedihkan.

“Makanya, nggak usah sok-sokan bantu-bantu di ladang,” kataku. Dia tidak mengatakan apa-apa. Laki-laki itu sibuk membersihkan keringatnya dengan lengan bajunya. “Nggak masalah. Asal aku bisa dekat sama keluarga kau, Uli,” katanya. Aku menatapnya sekilas. “Kau itu aneh,” ucapku.

“Aneh, tapi kau suka kan?” tanyanya jahil yang membuat wajahku mendadak panas. David tertawa kecil. “Sejak kapan muka kau jadi berubah merah begitu, Uli?” tanya dia lagi. Sial!

Kami berdua duduk bersebelahan sekarang. Bang Tobok datang menghampiri kami.  Hal tersebut membuatku mendadak menjauhi David. Bang Tobok duduk di tengah-tengah kami. Katanya, dia mau berbicara dengan David. Aku hanya mengangguk, kemudian segera pergi.

Namun tanpa mereka ketahui, aku berada tak jauh dari mereka. Aku bahkan bisa mendengar apa yang mereka katakan.

"Kau serius sama Uli?" tanya Bang Tobok.

"Iya. Saya serius."

"Pantas kau cari muka di depan bapaknya. Aku butuh bukti dari kau."

"Bukti apa?"

"Kau jaga si Uli itu baik-baik. Kau sendiri tau. Uli itu anak satu-satunya bapaknya. Mana mau bapaknya kalau sampai si Uli kenapa-kenapa."

"Nggak perlu lah abang khawatir. Tanpa Abang suruh pun, aku pasti jagain dia."

***

Seperti tak tau apa-apa, aku bertanya pada David tentang pembicaraannya dan bang Tobok. "Dia bilang apa tadi?" tanyaku. David menggeleng kecil. "Cuman pertanyaan-pertanyaan anak cowok," katanya.

Aku tidak menanggapi ucapannya. Ketika di perjalanan pulang, aku angkat bicara. "Besok ulang tahun Bapak," kataku. David melirikku. "Oh ya?" tanyanya.

Aku mengangguk kecil. "Tapi aku masih bingung ingin membelikan kado apa," kataku.

"Nggak perlu yang mahal. Asal bisa buat bapakmu senang aja." Penuturan David membuatku menghela napas.

"Itu masalahnya. Bapak nggak pernah mau di kasih kado," ucapku. David mengernyitkan dahinya. "Mungkin kadomu aja yang nggak bermutu," katanya yang membuatku mengeram kesal, dan David tertawa kecil.

David tiba-tiba menghentikan langkahnya. Aku menatapnya kebingungan. "Kenapa kau nggak kasih dia jam tangan aja?" tanya David yang membuatku seketika terdiam.

***

~BECAUSE OF FATE~

        

Because Of Fate [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang