2010, bulan ke sepuluh
Gadis kecil berusia sekitar tujuh tahun, duduk termenung di depan jendela. Di depannya, senja tengah berlabuh. Sandyakala dengan jingganya yang khas.
Burung-burung kecil beterbangan menuju rumahnya yang merupakan sebuah pohon pinang di sebelah rumah gadis tersebut.
Gadis tersebut berulang kali mendengus dingin. Entah apa yang dia pikirkan.
Seseorang datang dari belakangnya. Membuat gadis tersebut segera menoleh. Senyumnya mengembang. "Bapak udah pulang?" katanya retoris. Laki-laki yang dia sebut Bapak mengangguk pelan.
"Boru Bapak lagi ngapain?" tanya dia seraya duduk di sebelah putrinya. Gadis kecil itu menghela napasnya. "Bapakk! Uli iri sama kawan-kawan Uli di sekolah," ucapnya.
Laki-laki tersebut mengerutkan keningnya. "Loh? Kok gitu? Apa ada masalah?" tanyanya khawatir. Uli menghela napasnya. "Uli punya Mamak kan?" tanyanya, yang spontan membuat ekspresi sang Ayah berubah lesuh.
"Boru Bapak kenapa nanya begitu, hm?" tanya laki-laki tersebut berusaha untuk tenang. Uli malah menangis, membuat Ayahnya panik seketika. "Bah, macam mana do? Kok nangis Boru bapak ini hah?" tanyanya. Uli malah refleks memeluk Ayahnya dengan badannya yang bergetar.
"Kawan-kawan Uli pamer karena ada mamaknya. Aku nggak bisa," kata gadis kecil itu dengan napas naik turun.
"Kata kawanku, mamakku udah mati. Makanya aku nggak pernah lihat dia," ucapnya dengan napas terengah-engah.
Benar. Ayahnya tidak pernah memberitahukan Uli tentang ini. Dia mengatakan kalau istrinya itu, tengah pergi bekerja dan belum bisa kembali.
"Mamaknya Uli kerja kan? Dia belum mati kan? Kasih tau lah ke mamak supaya pulang!" seru gadis kecil itu sembari terisak-isak. Sang Ayah mengelus punggung putrinya pelan.
"Kasih tau ke dia, Pak. Bilang kalau aku mau ketemu dia," ucap putrinya lagi. Karena sang Ayah tidak mengucapkan apa-apa, gadis kecil itu berdecak kesal, kemudian beranjak dari hadapan jendela. Dia membuka tasnya, kemudian mengeluarkan buku gambar dari dalamnya.
"Boru Bapak gambar apa?" tanya Sang ayah, sembari menyambut putrinya itu menunjukkan buku gambarnya. Ketahuilah, laki-laki itu mati-matian menahan tangis. Bahkan saat dia bertanya, suaranya sudah bergetar.
Begitu buku gambar terbuka, dia malah terkejut. Ada gambar sebuah rumah kayu kecil. Di hadapannya ada tiga orang. Ayah, ibu, dan anak. Gambar ibu di kertas tersebut tidak jelas. Kepalanya bahkan belum sepenuhnya tergambar. Sang Ayah menatap gambar tersebut lamat-lamat, kemudian kembali menatap putrinya.
"Bu guru menyuruh kami menggambar keluarga. Aku nggak bisa membayangkan muka mamak kayak mana, jadi gambarnya nggak siap."
Ucapan putrinya barusan membuat laki-laki tersebut merasa bersalah. Dia mengelus rambut putrinya. "Mamak mu cantik kali, Uli. Dia mirip sama Boru bapaknya ini," katanya kemudian mengelus rambut putrinya kembali.
Gadis kecil tersebut mengerucutkan bibirnya. "Bapak, bilang lah ke mamak supaya dia pulang. Kenapa dia betah kali kerja di sana? Sampai-sampai dia nggak mau pulang-pulang? Bahkan Uli nggak pernah lihat dia sama sekali."
Sang Ayah kembali terdiam. Bahkan foto pernikahannya dengan istrinya sudah ia simpan jauh-jauh, karena begitu ia melihat foto istrinya, dia akan menangis hingga bermalam-malam.
"Dang mulak be ibana, Boru. Nga sonang be ibana di san," (Dia nggak bakalan pulang, Putriku. Karena dia udah bahagia di sana) ucap laki-laki tersebut pada akhirnya.
***
Tahun 2020 ketika senja berlabuh di tanah Batak.

KAMU SEDANG MEMBACA
Because of Fate [END]
Teen Fiction"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...