#Dejavu

14 1 0
                                    

Malam semakin larut. Namun aku belum bisa memejamkan mataku. Padahal besok harus ke sekolah. Aku gelisah sendiri sekarang. Berulang kali aku memutar badan ke sana kemari. Napasku kembali naik turun. Ku lihat jam di dinding. Bahkan sekarang sudah jam sebelas malam.

Aku segera duduk di kasur. Ku peluk lututku dengan erat. Lagi, perasaan gelisah semakin menjadi-jadi. Banyak yang menjadi racun di dalam kepala saat ini.

"Bapak udah sadar belom ya? Kalau dia udah sadar, dia cariin aku gak ya?"

Aku kembali menidurkan kepalaku di kasur. Kakiku ku luruskan ke bawah. Ingin sekali aku teriak sekuat mungkin. Siapa tau dengan cara itu, aku sedikit lega kan?

Sekarang, terbesit di pikiranku tentang pertemuanku dengan David di rumah sakit. Aku menghela napas dalam-dalam.

"Dia lagi apa ya sekarang? Dia bisa tidur nyenyak ga? Kalau engga, dia lagi mikirin apa?"

Kembali aku menghembuskan napas panjang. Beri tahu aku cara bisa melupakannya. Semuanya menjadi semakin rumit saja sekarang.

Ponselku berdering nyaring. Jarang sekali ada yang menghubungiku malam-malam begini. Terbesit di pikiranku tentang Bapak. Apa jangan-jangan Bang Tobok yang menelepon? Buru-buru ku raih ponselku.

Eh, tunggu dulu. Kean yang menelepon rupanya. Tumben. Segera ku jawab panggilan teleponnya.

"Halo, Kean?"

"Ha-halo, Uli. Ku kira kau sudah tidur," jawabnya. Aku memperbaiki cara duduk ku agar lebih nyaman berbincang.

"Engga bisa. Susah," jawabku jujur.

"Kau masih memikirkan tentang beasiswa itu?" tanya Kean. Ada nada penasaran dalam ucapannya.

"Yaa gitu lah. Banyak yang muncul di kepala malam ini," sahutku sedikit tertawa.

"Nggak masalah. Itu manusiawi." Senyumku mengembang mendengarnya. "Kau sendiri, kenapa belum tidur?" tanyaku.

"Aku sama sepertimu," jawab Kean.

"Banyak pikiran?" Tebakku cepat. Karena itu yang sedang ku alami sekarang.

"Tidak sama sekali. Hanya satu, namun mampu membuatku tidak bisa terlelap tidur," sahut Kean.

Aku mengernyit kecil seraya bertanya, "Apa?"

"Aku memikirkanmu, Uli."

Hening. Aku bahkan menjauhkan ponselku dari telinga. Aku tak salah mendengar kan?

"Uli? Kau masih di sana?" Suara Kean kembali terdengar, yang membuatku segera mendekatkan ponsel terebut ke telinga.

"I-iya. Masih," jawabku yang kini gugup setengah mampus.

"Maaf sudah mengganggumu. Aku hanya iseng menghubungimu tadi," sambungnya. Aku hanya terkekeh canggung. "Ya nggak masalah sih," jawabku.

Hening.

"Minggu depan kita ujian akhir sekolah. Kau sudah punya persiapan?" tanya Kean lagi. Aku tau dia sedang mencari topik pembicaraan.

"Ya sedikit hahaha," jawabku.

Terdengar suara tawa Kean dari telepon. Aku mendengar suara grasak grusuk. Kean sepertinya mengambil sesuatu dari sekitarnya. Seperti suara beberapa lembar buku yang bersentuhan.

"Oh wait. I have a new story,"  kata Kean. Aku mengernyit kecil. "Oh ya?"

"Hm. Mau mendengarnya?" tawarnya. Aku kembali mengangguk. "Boleh aja sih. Siapa tau setelah mendengar ceritamu, aku bisa segera tidur," jawabku.

Because Of Fate [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang