David mengajariku beberapa soal fisika, yang sekiranya akan di ujikan besok. Aku paham semua penjelasannya. Bahkan lebih mudah di pahami dari pada penjelasan bu guru. " .... makanya hasilnya bisa sampai segini," kata David.
Aku menganggukkan kepalaku pelan. Dia menatapku sekarang. "Ngerti?" tanya dia. Aku mengangguk. Dia tersenyum simpul. "Good girl. Sekarang, kau jawab soal ini dulu. Aku ngantuk, mau tidur." Dia memberikan secarik kertas ke arahku, kemudian segera merebahkan kepalanya ke atas meja. Dia tidur menghadapku.
Aku menghela napas dalam-dalam, seraya memutar otak untuk mengerjakan soal tersebut. Hitungan menit, tiga soal selesai terjawab. Namun aku tak tau, hasilnya sudah benar apa belum.
Oke, harus percaya diri. Lima soal terjawab. Tiga soal lagi. Aku memutar pulpen di jari-jari tanganku.
Napasku naik turun. Tingkat kesulitan soalnya, semakin lama semakin sulit saja! Aku meletakkan pulpenku, begitu soalnya sudah terjawab semua.
Aku melirik ke arah David yang tengah tertidur pulas. Aku menatapnya lamat-lamat, kemudian segera menidurkan kepalaku persis seperti dia. Sudut bibirku tertarik ke atas. Aku tidak tau apa yang terjadi, sehingga kini kami berdua bisa jadi sedekat ini.
Bapak senang pada David. Mereka terlihat kompak. Dengan berat hati ku akui, dia sudah mewarnai hari-hari ku. Ternyata memandangi wajah David berlama-lama, menyenangkan juga. Dia terlihat lucu ketika tidur.
David tiba-tiba membuka kedua matanya, yang membuat pandangan kami bertemu dalam satu titik. Jantungku kembali berpacu kuat. Mataku membulat penuh karena kaget sekaligus gugup. David tersenyum manis. Aku segera menegakkan tubuhku, namun David malah menarikku untuk kembali seperti posisi tadi.
"Gue berhasil buat lo jatuh cinta nggak?"
Deg.
Tangannya terulur untuk menyentuh pipiku. Suara pintu yang berderit pertanda ada orang yang masuk ke dalam perpustakaan, membuat aku segera menjauhkan diri dari David. Takut ada gosip aneh-aneh seperti kemarin.
David tertawa renyah. Dia mulai merapikan buku-buku yang sempat dia ambil. Pengurus perpustakaan berjalan ke arah kami.
"Sudah selesai belajarnya?" tanyanya. David mengangguk sekali. "Ini lagi merapikan buku," katanya lagi. Pengurus perpustakaan itu mengangguk-angguk pelan, kemudian berjalan melewati kami.
Syukur dia tidak melihat perlakuan David tadi. Lagi pula, buat apa juga aku takut? Aku dan David tidak melakukan perbuatan yang melanggar. Kan?
***
Begitu jam istirahat berbunyi, aku dan David duduk berdua di bangku kantin. Kedua kakiku ku ayun-ayunkan sembari menikmati es krim yang beberapa menit yang lalu di beli David.
David tidak ikut menikmati eksrim denganku. Dia malah memeriksa jawaban soal yang ku kerjakan tadi. Aku mengalihkan pandanganku darinya. Laki-laki di lapangan basket itu, berjalan melewati aku, dengan gelang hitam yang dia pakai, dan sebuah buku dengan sampul coklat.
Karena terlalu fokus pada laki-laki itu, David malah mencubit pipiku pelan, membuatku menoleh ke arah David.
"Kau ngelihatin apa?" tanyanya penuh investigasi, sembari memperhatikan arah yang sedari tadi ku pelototi. Aku tertawa kecil. "Nggak. Nggak ada," ucapku. David kembali fokus ke pada buku yang sedari tadi dia pegang, begitu aku mengatakan hal tersebut.
"Jadi, dari soal yang udah kau jawabi tadi, masih ada tiga soal yang salah," ucapnya. Aku menatapnya bingung.
"Oh ya? Aku salah di mana?" tanyaku. David segera menjelaskan kembali soal yang ku kerjakan. "Yang ini. Harusnya, sebelum di kali ke pangkat delapan, kau harus mengakarkannya lebih dulu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Because of Fate [END]
Fiksi Remaja"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...