Besok ada ujian sekolah. David mengajakku belajar bersama katanya. Lumayan juga, aku bisa bertanya sedikit tentang pelajaran fisika yang belum ku pahami jelas.
Kami berdua berada di pinggiran sawah dengan sepasang ayunan di batang pohon. David mendorong ayunannya.
Sementara aku mengayunkan kedua kakiku senang. Ah sebetulnya, hari ini banyak pikiran yang tak ingin ku tunjukkan pada David. Termasuk kejadian kemarin di rumah sakit.
David menghentikan dorongannya. Ayunan berhenti perlahan. "Kau memikirkan apa?" tanyanya.
Aku hanya menggeleng seraya tersenyum. "Cuma berpikir buat besok. Semoga ujiannya enggak susah," kataku.
"Enggak usah khawatir. Setidaknya kita sudah buat persiapan," katanya. Aku mengangguk mengiyakan. Kali ini, David ikut duduk di ayunan—di sebelahku.
"Aku tau kau mikirin kejadian di rumah sakit kemarin," katanya. Aku menoleh kecil. Dia bisa baca pikiran?!
"Enggak usah di pikirin," sambungnya. Aku menghela napas panjang. Sebenarnya aku tak ada niat untuk mengingat-ingatnya. Sialnya saja, dia selalu muncul tanpa di minta.
Kami berakhir di pinggir danau Toba. Menikmati angin yang terasa lebih sejuk di banding sawah yang kami kunjungi tadi. Ku pandangi langit yang sedikit mendung.
"Dav," panggilku lirih.
"Hm?" David berujar. Sementara pandangannya masih fokus pada gulungan ombak di hadapannya.
"Kau pernah tanya kan, kenapa aku suka puisi?" ujarku. David mengangguk kecil. Dia menatapku sekarang. "Iyaa. Kenapa?" tanyanya.
Aku menarik napasku dalam-dalam. "Karena setiap aku menulis puisi, aku merasa lebih hidup. Dan aku, bisa menemukanmu di antara sajak-sajak terbaik pada puisi yang ku rangkai," kataku.
Hening.
Hanya ada suara ombak. Aku menatap lurus ke depan. Tangan David menyentuh pergelangan tanganku, yang membuatku segera menatapnya. Dia memandangiku dengan sangat dalam.
"Aku bersyukur punya kau, Uli." Kata-kata yang nyaris membuatku jatuh. Di usapnya pelan punggung tanganku. "Bahkan jika semesta tak setuju tentang hubungan kita, aku bakalan jadi orang pertama yang selalu memintamu selalu di sini," katanya tulus.
Aku segera membuang pandanganku. Tak kuat jika di tatap berlama-lama oleh David. "Terima kasih sudah bergandeng tangan denganku di jalan yang selama ini selalu ku jalani sendiri, Uli." Dia kembali berucap.
Aku menunduk. Dan ku rasakan David mengangkat daguku.
Aku kembali menatapnya. "Aku .... Aku takut," tuturku. Air mata jatuh begitu saja.
Dia segera mendekapku. Memeluk tubuhku yang gemetar dengan sangat erat. "Aku takut berpisah denganmu," kataku lagi. Bahuku naik turun. David mengelus punggungku yang berhasil memberi rasa tenang.
***
Sebelum kami benar-benar pulang, aku mengajak David bermain air di pinggir danau. Dia sepertinya tak terlalu antusias karena udara dingin, namun aku tetap memaksanya yang membuatnya pada akhirnya mengangguk mengiyakan.
Ku ambil dua botol plastik yang sedikit berserak di pinggir danau. Aku mengisinya dengan batu. David menatapku kebingungan.
"Mau buat apa?" tanyanya yang kini ikut-ikutan mengisi batu kecil ke dalam botol. "Nulis harapan," kataku.
Dia tertawa kecil. "Emang bisa terwujud?" tanyanya. Aku mengedikkan bahu. "Siapa tau aja kan," kataku.
David tak mengatakan apa-apa. Ku ambil secarik kertas dan pulpen dari dalam tas yang tersampir di bahu. David segera mengambil alih tas di punggungku. Aku menulis satu deretan kalimat di kertas tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Teen Fiction"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...