Aku dan David berjalan beriringan ke dalam ruangan kelas setelah baris berbaris selesai. Tentunya tanpa obrolan apapun. Ida memandangiku bingung kemudian segera menarikku buru-buru.
Dia berbisik, "Kalian berdua terlambat?" tanya dia sembari menunjuk David dengan dagunya, yang kini melangkah ke arah bangkunya.
Aku berdecak malas kemudian memilih duduk di bangku. Ku letakkan tasku di meja. "Iya," jawabku.
"Ha-hah?" Ida kaget. "Janjian?" tanya dia lagi. Segera aku menggeleng. Ada helaan napas lega dari Ida. Aku melirik nya heran. "Apa sihh, Ida?" tanyaku.
"Gak mau aku ya, kalau kelen ku dengar balikan. Udah lah, jangan ada yang namanya pacar-pacaran lagi. Gausah! Cukup lah yang kemarin-kemarin." Ida duduk di bangkunya. Aku heran dengan anak ini. Perasaan kemarin dia yang sangat mendukungku dengan David.
"Pacaran beda agama itu gak baik Uli. Bang Tobok yang bilang. Dia juga nyuruh aku buat memperingati kau."
Aku seketika mengerti. Ternyata ini karena Bang Tobok. "Nggak ada yang mau pacaran kali," jawabku kemudian mengeluarkan buku catatan dari dalam tas.
"Mending kau sama si Kean aja. Dia baik, pintar pulak. Kristen lagi. Apa lagi yang kurang?"
Aku menghela napas panjang saat Ida mengucapkan hal tersebut. Meladeni Ida hanya membuang-buang waktu.
"Bapakmu udah baik, Uli?" tanya Ida lagi sambil membuka catatannya. Aku menoleh ke arahnya sambil memutar-mutar pulpen.
"Belum," jawabku sekenanya.
"Lah? Terus, cem mana lah beasiswa kau itu?" Ida memandangiku.
"Yaa gatau. Kata Bang Tobok, dia yang bakal ngurus data-datanya."
Ida menghela napasnya. "Bang Tobok itu bukan Bapakmu, Uli. Cem mana pulak jadi dia yang ngurus?"
Aku mengedikkan bahu tak acuh. "Tapi yaa, aku salut kali sama Bang Tobok. Dia baik kali ke kau. Dia anggap kau kek adeknya sendiri. Jadi makin cinta aku bah." Kali ini, Ida malah senyum-semyum sendiri.
Aku berdecak sebal kemudian menoyor kepalanya pelan. Jam pelajaran berlangsung. Guru-guru hanya memberikan tugas akhir dan beberapa contoh prediksi soal yang akan keluar saat ujian nanti. Semacam Kisi-kisi soal.
***
Begitu bel pulang berbunyi, aku dan Ida memilih untuk pulang bersama kali ini. Dia juga sudah meminta Bapaknya untuk tidak datang menjemput, demi pulang denganku.
Banyak yang kami bicarakan di koridor. Tentang pakaian dalam Ida yang hilang di colong orang, tentang Ida yang di marahi ibunya karena lupa memasak nasi, tentang piring yang pecah karena kucing tapi dia jadi tersangka, dan banyak hal lagi. Hal yang selalu membuatku nyaman berteman dengan manusia yang satu ini.
"Behhh, habis lah aku kena pukul hanger sama mamakku. Padahal yang pecahin piringnya kucing."
Aku ingin tertawa mendegar keluh kesahnya. Namun Kean tiba-tiba datang, membuat Ida menghentikan ceritanya.
"Uli, boleh kita ngomong sebentar?" tanya Kean. Aku melirik Ida. Perempuan itu seakan-akan tau apa yang akan ku katakan. Dia segera menggangguk dan berucap, "Ku tunggu di parkiran. Aku mau beli es tebu juga di sana," katanya.
Aku mengangguk kecil, sementara Ida melangkah pergi. Ku tatap Kean. "Mau ngomong apa?" tanyaku.
Kean tampak menghela napasnya. Keringatnya juga bercucuran seperti baru berlari ribuan meter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Teen Fiction"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...