Bang Tobok memilih pulang lebih dulu karena masih ada yang harus dia urus. Ternyata, sekarang dia mengganti profesinya sebagai nelayan. Aku tak bisa apa-apa kecuali mendoakan yang terbaik untuknya. Apalagi dia sudah menikah. Ah aku tak sabar mengenal siapa istrinya Bang Tobok.
Aku masih sibuk menikmati kenangan di tempat ini yang semakin bertalu-talu mengisi kepala. Hingga sudut mataku menangkap sebuah botol yang terjaring di dekat perahu Bang Tobok.
Aku meraih botol tersebut. Ku buka tudungnya, kemudian segera mengambil sebuah kertas di dalamnya.
Ini—tulisan David kan? Aku menatap sederet kalimat yang ada di sana dengan perasaan ragu.
"Ya Allah. Kalau Uli bukan jodohku, jodohkan lah dia dengan laki-laki yang jauh lebih baik dari aku. Laki-laki yang selalu ada kapanpun Uli butuh. Laki-laki seiman yang selalu membawa Uli ingat dengan Tuhannya, dan laki-laki yang mampu mencintai dia, lebih dari aku yang pernah mencintai nya dengan sangat tulus."
Air mataku mendadak turun begitu membaca kalimat itu. Sudah bertahun-tahun, dan botol ini menyambut kedatanganku kembali. Seakan-akan semua ini sudah ada di dalam skenario.
Aku tak tau jika David menulis kalimat seperti ini. Sekarang, aku ingin sekali menghubungi nomornya dan mengatakan jika aku sudah tau kalimat apa yang ia tulis di dalam botol hari itu denganku. Namun aku sadar. Memangnya apa keuntungannya untukku setelah memberitahukan hal itu?
Aku dan David tak akan pernah bisa bersama lagi. Tak akan pernah. Dia sudah bahagia saat ini. Tinggal aku saja yang harus menjemput bahagiaku sendiri kan?
Bang Dion berjalan menghampiri aku, setelah tadi dia sibuk menerima panggilan telepon dari atasannya mungkin?
"Sedang apa?" tanya dia.
Aku hanya tersenyum simpul kemudian menunduk menatap kertas itu. "Ada saatnya seseorang ingin beranjak ke waktu lampau. Dan saat ini saya sedang merasakan hal tersebut. Dia, laki-laki yang pernah mengajarkan saya tentang apa itu cinta. Bodoh memang. Itu cuman percintaan monyet waktu SMA. Tapi, dia benar-benar mengubah saya yang lugu dengan kata cinta, menjadi perempuan yang sangat peka tentang perasaan."
"Saya merasakan jatuh cinta terhebat saat itu. Bahkan saya bersumpah, bahwa dia adalah laki-laki terbaik yang pernah saya temui setelah Bapak. Namanya tak perlu saya sebutkan. Karena saat ini, saya hanya ingin menguburnya di hati. Agar kelak, jika ingin mengenangnya saya tak perlu jauh-jauh mencarinya. Karena dia akan selalu berada di posisi terbaik di hati saya. Tapi saya sadar. Hidup akan terus berjalan. Dan saya tidak mungkin berada di titik yang sama seumur hidup saya."
Bang Dion menyentuh pergelangan tanganku. Membuat ku menatapnya dengan jelas sekarang.
"Ini laki-laki yang sama kayak yang kamu ceritakan di kafe kopi waktu itu ya?"
Aku memilih mengangguk. "Tidak apa. Saya tidak akan memaksa kamu buru-buru melupakan orang itu. Ada baiknya kamu selalu mengenangnya. Saya juga tidak keberatan pabila kamu akan menempatkan dia di posisi terbaik di hati kamu. Yang saya minta hanya satu, Uli. Memberikan sedikit saja ruang di hati kamu untuk saya. Karena—saya benar-benar jatuh cinta pada kamu. Dan makin hari rasa cinta itu semakin memenuhi saya. Membuat saya nyaris tenggelam."
Dia melingkari kedua tangannya di wajahku. "Saya tak bisa berhenti mencintai kamu, Uli. Bahkan sejak pertama kita bertemu di bus hari itu."
Aku kembali menunduk. Tak berani berlama-lama menatap mata indah itu.
"Uli, i wanna married with you. Do you want married with me, Bu Dokter?"
Air mataku seketika menitik. Dia sedang melamarku?? Tapi kenapa bisa dia berpikiran begitu? Apa yang dia lihat dariku sehingga dia berinisiatif mengajakku menikah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Teen Fiction"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...