Saat kembali ke ruangan kelas, aku tak habis-habisnya di ledekin. Termasuk Ida yang begitu excited. Aku tak mengerti jalan pikirannya. Andai saja Ida tidak mengatakan hal bodoh tadi, mungkin aku tak akan berujung seperti ini.
“Ayolah. Tor langsung aja kelen jadian,” kata Ridwan sambil menyenggol-nyenggol lengan David.
Aku berusaha untuk menahan emosi. Ida ikut-ikutan menyenggol lenganku. “Uli, udah lah. Masalah agama kelen yang beda, bisa itu belakangan. Yang penting pacaran dulu,” katanya.
Aku berdecak kesal, bahkan dengan bodohnya, aku malah memukul meja. “Berapa kali ku bilang? Aku, nggak suka sama dia! Kalian itu apa-apaan? Jangan buat orang kesal lah!” seruku. Dan seketika kelas hening.
Napasku naik turun. Aku jadi malu sendiri karena sudah bersikap seperti ini. Ini baru pertama kalinya!
“Besok-besok juga, lo bakalan jatuh cinta ke gue,” kata David yang membuat kelas kembali bersorak senang.
Aku ingin kembali membalas ucapannya, namun Pak Riko segera datang.
“Horas!” katanya. Bersahut-sahutan kami menjawab.
“Horas, Pak!”
Pak Riko segera menarik napasnya. “Di kelas ini, ada yang belum ikut ulangan kan?”
“Saya, Pak.” David angkat tangan. Pak Riko mengangguk.
“Kau, ikut bapak ke kantor untuk ulangan susulan.”
“Baik, Pak,” kata David kemudian segera bangkit. Pak Riko meletakkan lembar jawaban ulangan matematika semalam. Dia memanggil satu persatu siswa-siswi sesuai dengan lembar jawabannya.
“Josep Mangatur Tamba,” panggilnya dan Josep segera pergi ke depan.
Dia menatap nilai matematikanya dengan tatapan datar. Pak Riko menatapnya tajam. “Kau tengok nilai ulangan kau itu baik-baik. Besok-besok remedial lagi, kau saya suruh push up seratus kali,” kata Pak Riko garang.
Josep menyengir tidak jelas. Dia segera kembali ke bangkunya.
“Roida Monica Simbolon.”
Buru-buru Ida pergi ke depan untuk mengambil lembar jawabannya. Setelah itu, dia kembali duduk. Aku menatapnya kebingungan. “Gimana?” tanyaku. Roida hampir menjawabnya, namun namaku malah di panggil ke depan.
“Rouli Haholongan Sagala.” Segera aku maju. Aku benar-benar tak berani melihat nilaiku sendiri. Begitu semua siswa-siswi di panggil, Pak Riko segera pergi, dan David ada di belakangnya mengikutinya.
“Hahahahahaha empat puluh nilai apanya ini!”
“Bah, mending lah kau Hiras. Aku aja tiga lima.”
“Sep? Kau berapa?” tanya Ridwan.
“Enam puluh, Cok. Salah empat,” kata Josep.
Ridwan menunjukkan lembar jawabannya, “Tujuh puluh, hahahaha.”
Ida menatapku. “Punya kau, berapa Uli? Nilai ku, sama kayak si Ridwan,” tuturnya.
Dengan keberanian penuh, aku melihat lembar jawabanku. Delapan puluh. Aku mengerjakan delapan soal yang benar. Ida menepuk pundakku pelan. “Hebat kali kau, Uli. Bangga aku bah. Bisa lah dah, dapat beasiswa kedokteran. Kawan ku ini kan pande," katanya yang membuatku tertawa kecil.
Aku dan Ida pulang sama. Namun, Ida meminta ijin untuk ke kamar mandi, karena perutnya kembali sakit. Terpaksa, aku menunggunya di parkiran.
Sebuah pesawat kertas melayang ke arahku. Aku melihat sekitarku, melihat siapa orang yang telah melemparkan pesawat kertas itu padaku. Segera aku memungut pesawatnya. Ada tulisan di sayap kanannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Ficção Adolescente"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...