Ku serahkan satu lembaran uang seratus pada orang di hadapanku kemudian segera tersenyum. Ku pandangi berkas di amplop coklat di genggamanku. Hari ini, aku melakukan pendaftaran ke universitas kedokteran di Indonesia. Tepatnya di Tanggerang.
Aku memandangi amplop tersebut dengan perasaan kalut. Takut gagal. Minggu depan, ujiannya akan di langsungkan. Dan aku, satu-satunya siswa di sekolahku yang mendaftar ke universitas itu.
Ku bawa amplop tersebut ke arah sebuah bangku. Aku duduk di sana dengan perasaan cemas. Sungguh, takut sekali aku gagal. Ini adalah impianku sedari dulu. Jadi dokter di universitas favorit di Indonesia.
Bapak, aku tak tau mengenai tanggapannya nanti. Beliau selalu memintaku untuk tak jauh-jauh darinya. Nanti jika aku lulus, otomatis aku akan menjauh darinya, kan? Bagaimana jika Bapak tak setuju?
Tidak. Aku tak ingin berpikiran negatif.
Universitas itu menyediakan beasiswa. Itu alasan yang memperkuat aku, ingin berkuliah di sana. Bapak tidak akan terlalu terbebani karena biaya.
Seseorang duduk di sebelahku, membuatku segera menoleh.
Kean!
Iyaa, itu dia. Kean tersenyum tipis. "Lama enggak ketemu," katanya. Aku mengangguk seraya membalas senyumnya.
Di sekolah juga, aku jarang melihatnya. Apalagi dia anak IPS, ruangannya cukup jauh dari ruangan MIPA.
"Aku bisa duduk di sini, kan?" tanyanya. Aku segera mengangguk.
"Terima kasih," katanya. Aku kembali tersenyum. Kean memang orang yang tak bosan mengucapkan terima kasih.
Keadaan berubah menjadi hening. Aku mengayun-ayunkan kakiku di bangku untuk menghilangkan rasa bosan.
"Mendaftar juga di sini?" tanyanya. Aku segera menoleh. Pandangan kami bersirubuk. Aku mengangguk kecil. "Kau?" tanyaku kembali.
"Enggak. Aku ambil di Bali. Aku cuma ga sengaja lihat kau duduk di sini," kata Kean.
"Oh, ambil di Bali?" Aku mengangguk-anggukkan kepalaku.
Kembali lengang.
Ini yang tak ku suka jika berbicara dengan orang baru yang tak terlalu ku kenal. Berdua lagi.
"Apa kabar dengan hubunganmu dan David? Sudah sebulan lebih, aku enggak pernah lihat kalian bareng lagi."
Penuturan Kean membuatku terdiam. Sejak putus kemarin itu, aku benar-benar tak pernah berhubungan lagi dengan David.
Bahkan melalui ponsel sekalipun. Dia juga sudah sibuk mengurus data-data untuk mendaftar di akademi kepolisian.
Dan hal yang paling tak menyenangkan kemarin itu, David tak bersamaku saat malam tahun baru. Alhasil, aku hanya bisa menikmati petasan sendiri di teras rumah.
"Maaf kalau omonganku buat kau—"
"Enggak. Gapapa," potongku cepat.
"Kalian baik-baik aja? Kan?" Kembali dia bertanya. Oh, Kean! Mengapa kau harus menanyakan hal tersebut?!
Lagi aku diam.
"Kalau enggak mau cerita sih, enggak masalah. Aku juga enggak memaksa," ujarnya.
Aku hanya menunduk.
"Hm, mau minum kopi?" tawarnya. Belum sempat aku mengangguk, dia sudah pergi menuju sebuah warung. Aku hanya geleng-geleng kepala di buatnya.
Beberapa menit kemudian, dia datang membawa dua gelas styrofoam berisi kopi khas Samosir. Dia menyerahkannya padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Teen Fiction"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...