Pulang sekolah itu, aku tidak berbicara sama siapapun. Begitu bel berbunyi, dan guru meninggalkan ruangan, aku segera pergi begitu saja. Jelas saja, aku masih kesal pada Ida. Dia benar-benar menyebalkan.
“Uli!” David masih saja mengejarku. Bahkan aku sampai memutuskan untuk bersembunyi. Aku tidak mau kalau dia akan tau rumahku, dan dia akan bertemu bapak.
Itu benar-benar menyebalkan. Setelah mengayuh sepeda meninggalkan parkiran, aku bersembunyi di balik mobil. Sepedaku, ku letakkan di sana dan aku bersembunyi di balik semak-semak yang puji Tuhan tidak berduri.
Aku mengintip kepergiannya. Berhembus lega karena dia sudah tak ada di sini. Dia mungkin berpikir kalau aku sudah pergi.
Aku segera berbalik, namun aku malah menubruk punggung seseorang. “Maaf, maaf,” kataku. Dia berbalik kemudian menatapku kaget. Setelah itu, dia malah langsung pergi. Bahkan aku bingung dengan perilakunya.
Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh. Aku kembali melanjutkan langkahku, kemudian benar-benar meninggalkan pekarangan sekolah.
Setelah melewati pesawahan, aku sampai di rumah kira-kira jam tiga sore. Membuka pintu, menyimpan sepeda, mengganti seragam sekolah, buru-buru aku menuju dapur untuk menyiapkan makanan untuk bapak.
Baru aku selesai menyiapkan semuanya. Ponselku berbunyi nyaring. Segera ku raih dari atas meja. Bapak yang bertelepon ternyata.
“Halo, Pak?” tanyaku begitu panggilan tersambung.
“Kau di mana sekarang Boru?” tanya Bapak.
“Di rumah. Ini baru selesai masak.”
“Buat aja lah itu jadi makan malam kita nanti. Kau ga perlu datang ke sini. Soalnya, Oppung Dinar bawa jagal ke sini."
"Nasinya ada?" tanyaku.
"Ada. Kau jangan lupa makan."
"Iya, Pak. Bapak istirahat sekali-kali."
Terdengar bapak tertawa. “Boru ku ini memang bah. Hahahaha.” Aku tersenyum begitu mendengar suara tawanya.
Tawa yang mampu mengubah lelah yang ku rasa seketika hilang.
***
Sekitar jam lima sore, setelah aku membereskan rumah, mulai dari mencuci baju bapak, dan lain sebagainya, suara ketukan pintu terdengar. Aku menoleh kecil. Sangat jarang ada tamu ke sini. Paling pembeli kopi bapak. Selainnya tidak ada.
Aku berjalan pelan ke arah pintu. Ketika pintu terbuka, mataku seketika membola. Buru-buru aku kembali menutup pintu.
“Uli! Kan aku udah minta maaf,” kata David. Sial! Dari mana dia tahu rumahku? Pasti ini ulahnya Ida. Ya ampun, kenapa aku selalu sial begini? Sekarang, dia akan lebih sering mengusikku. Bahkan hingga sampai ke rumah.
“Bah? Ada apa Lae? Mau beli kopi?”
Suara tersebut membuatku buru-buru membuka pintu. Bapak udah pulang! Sekarang, mereka berdua malah bertemu. Gawat! Gawat!
“Saya temannya Uli, Om.” David berucap. Bapak mengangguk-anggukkan kepalanya. “Yaudah. Kita masuk, kau temui lah boruku di dalam,” ucap bapak.
Ya ampun, Pak! Kenapa harus di beri kemudahan??
David tersenyum, sembari mengikuti bapak dari belakang. Sekarang, David malah duduk di kursi. Berhadapan dengan bapak.
“Baru kali ini, ada laki-laki yang datang ke rumah ini, buat martandangi boruku,” ucap bapak kemudian tertawa. Dia mengucapkannya seolah-olah aku tidak laku dan tidak ada yang mau! Benar-benar menyebalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Teen Fiction"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...