Aku duduk berdua dengan David. Di hadapan kami berdua ada dua kelapa muda yang sudah di lengkapi oleh lubang di atasnya dan sebuah sedotan.
David tidak banyak berbicara hari ini. Aku yang bosan meminta David untuk bercerita tentang hubungannya dan Maminya. Mengingat pesan yang tak sengaja ku baca hari itu. Awalnya David menolak, namun pada akhirnya dia tetap berbicara. Ku ketahui, dia cukup malas menceritakannya.
"Hubungan aku sama Mami sudah cukup membaik, Uli," katanya. Aku tersenyum mendengarnya.
"Lalu bagaimana?" tanyaku.
"Yaaa. Semuanya tetap berjalan kayak biasanya. Cuman, aku masih menolak untuk menikmati serapan pagi. Itu semua karena, suaminya duduk di sebelah Mami."
"Ayah barumu baik?" tanyaku.
Hening.
Aku tak salah berucap kan?
"Aku nggak berminat bahas sesuatu apapun yang nggak ku suka. Jadi nggak perlu bahas dia."
Oke. Mungkin aku tak perlu melanjutkan obrolan ini. Aku tiba-tiba teringat tentang kejadian tadi. "Dav," panggilku.
Dia menoleh sekilas, dari pemandangan senja di hadapannya. "Kau lihat berita tadi pagi?" tanyaku. Dia mengernyitkan dahinya. "Berita apa? Akhir-akhir ini aku nggak pernah lihat televisi."
"Oh, enggak." Aku mengurungkan niatku untuk bertanya. Dia meraih telapak tanganku. Menautkan jari-jari tangan kami masing-masing.
Aku menatap David. "Ada yang kau tutupi dari aku?" tanyanya lembut. Aku menghela napas. "Udah ya. Lupain aja. Mending kita obrolin tentang senja. Itu topik yang lebih menyenangkan untuk di bahas."
"Aku serius, Uli."
"Emang muka aku kayak lagi bercanda?" balasku. Dia melepaskan tautan tangannya. "Aku takut lihat muka kau cemas gitu," katanya.
Hening.
"Uli?" David menatapku penuh tanya. "Ada berita pembakaran gereja lagi, Dav. Dan karena itu juga, aku berantem sama Bapak tadi."
Penjelasan ku barusan membuat David mengernyitkan dahi. "Berantem?" tanyanya. Ku balas dengan sekali anggukan.
"Aku udah berusaha keras buat bilangin ke Bapak, kalau enggak semua orang muslim kayak gitu," kataku.
"Tulang bilang apa?" sahut David.
"Dia marah, karena aku malah bela-belain agama Islam. Sampai sekarang aku takut. Aku takut gimana kalau Bapak tau kalau kau itu Islam. Agama yang dia benci. Kau tau sendiri. Bapak sangat fanatik sama agama kami. Bukannya aku nggak suka dia kayak gini. Tapi aku merasa dia berlebihan, Dav."
David tersenyum tipis. Senyum penenang jiwaku yang hampir rubuh. "Tulang nggak salah, Uli," katanya.
Aku berdecak. "Sekarang kau malah belain Bapak? Jelas-jelas aku lagi belain kau, Dav!"
"Bukannya dulu juga, kau enggak suka dekat sama aku karena aku beda keyakinan sama kalian?" tanya David.
Hening.
"Tapi sekarang? Kau bahkan jadi pacarku, Uli." David kembali berucap. David menghela napas panjang. "Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Tulang, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David.
"Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David diam sejenak. Senyumnya seketika mengembang. "Mereka berdua lagi diskusi. Jadi kita serahin ke mereka aja. Mau gimana akhirnya, kita cukup jalani."
"Kalau nanti kita pisah?" tanyaku cepat.
"Aku bakalan tetap jadi David yang selalu sayang sama kau, Uli."
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Teen Fiction"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...