Senin pagi, ketika fajar menyingsing
“Uli??”
Suara bapak membuatku segera terbangun. Aku melirik jam di dinding. Sudah jam setengah enam. Segera aku bangkit, kemudian membuka pintu kamar. “Bapak mau ke ladang sepagi ini?” tanyaku.
Bapak mengangguk. “Bapak juga di bantuin si Tobok," ucapnya.
Aku mengangguk-angguk. Tobok yang dia maksud adalah, tetanggaku. Dia satu tahun lebih tua dariku. Hari itu, dia gagal mengikuti Sbmptn, dan memilih untuk gapyear. Dia sudah ku anggap seperti abangku sendiri.
Aku melirik Tobok, dia tersenyum simpul. “Kau jaga bapakku, Bang,” kataku yang membuat dia tertawa kecil.
Bapak dan Tobok pergi. Aku menghela napas berat. Kapan aku bisa membuat bapak tak bekerja sekeras itu? Membantunya saja, aku tidak di beri ijin.
Aku berjalan ke arah kamar mandi untuk membersihkan diri. Tepat jam enam nanti, aku harus berangkat ke sekolah.
Setelah mandi, segera ku keluarkan sepedaku dari gudang belakang tempat penyimpanan hasil panen kopi semalam. Jika anak di luar sana, akan menikmati makanan masakan ibunya pagi-pagi, aku berbeda dari mereka yang beruntung.
Pagi-pagi sekali, bapak sudah memasakkan telur dadar. Makanan khas setiap pagi sebelum ke sekolah. Bapak sudah seperti ibu bagiku.
Jalan yang ku tempuh setiap pagi, harus melewati sawah-sawah penduduk. Bahkan tak jarang, kakiku harus terkena becek.
Maka untuk mengatasinya, aku selalu membungkus kaki dan sepatuku dengan plastik. Jadi, setelah sampai di sekolah, aku tinggal melepaskan plastik tersebut.
Beruntungnya, semalam tidak turun hujan. Jadi, jalanan sawah tidak becek. Aku tidak perlu membungkus sepatu dengan kantong plastik.
Jika tak melewati sawah, aku harus berjuang melewati macetnya lalu lintas setiap pagi. Dan hal tersebut, akan membuatku terlambat. Sementara gerbang sekolah akan segera di tutup, apabila aku terlambat beberapa menit sekalipun.
Kira-kira empat puluh lima menit, aku sampai di sekolah. Segera aku memarkirkan sepedaku, di antara puluhan kereta yang berjejer rapi. Bahkan jika bisa di bilang, hanya aku satu-satunya yang memakai sepeda ke sekolah.
Terkadang, Ida juga membawa sepeda, supaya kami bisa pulang bersama. Namun, belum ada sepedanya di sini. Itu berarti, dia belum juga datang. Atau mungkin, dia di antar bapaknya tadi. Ida satu kampung denganku. Hanya berjarak beberapa meter dari letak rumah.
Begitu aku masuk ke dalam kelas, Ida dan yang lainnya sudah sibuk dengan buku-buku di hadapan mereka. Aku menatap mereka kebingungan. Ini tidak biasanya.
Biasanya mereka akan sibuk dengan handphone masing-masing, atau sibuk bercerita sana sini. “Uli? Tau kau? Ujian matematika kita dari Pak Riko. Mendadak kali, agoh. Mana nggak belajar pulak aku semalam,” kata Ida.
Aku mengangguk kecil. Rupanya ada ulangan mendadak.
Ridwan menatapku kebingungan. “Bah? Kok nggak panik kau Uli? Macam mana pulak. Udah belajar kau?” tanyanya.
Aku menggeleng kecil. “Nanti juga dapat-dapat sendiri,” ucapku. Dan hal tersebut, membuat manusia di kelas ini menatapku kaget. “Bah. Salut kali aku sama kau,” kata Josep, siswa di sebelah Ridwan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Fiksi Remaja"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...