Bapak memandangku kebingungan. Ku garuk kepalaku yang jelas saja tak gatal. "Aku, masuk ya, Pak," ucapku. Bapak menahanku dengan ujaran. "Kau apai si David itu? Kok agak laen Bapak tengok." Ucapannya barusan membuatku tertawa kecil. "Nggak tau, Pak. Aku aja bingung," kataku.
Bapak menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Aku buru-buru masuk ke dalam kamar. Berhembus napas lega.
Aku membuka amplop yang tadi ku temukan di laci. Segera ku buka isinya. Satu lembar kertas yang di lipat dua. Sama seperti hari-hari sebelumnya.
Sungguh.
Ini benar-benar gila
Semalam, aku bermimpi
Aku bermimpi bisa bertemu denganmu di tempat favoritku.Aku menatap kertas tersebut lamat-lamat. Hingga saat ini, aku belum tau siapa orang di balik semua ini. Sungguh, aku benar-benar penasaran siapa orangnya. Apa aku mengenalnya?
Suara rintik hujan berjatuhan di atas seng. Aku segera mengecek lewat jendela. Sial, hujan! Jemuranku masih ada di luar. Buru-buru aku berlari ke luar. Bapak memandangku sembari geleng-geleng kepala.
Dengan ngos-ngosan, aku membawa pakaian kering masuk. Bapak tengah menikmati kopi di belakang, ku letakkan pakaian tersebut ke dalam keranjang, supaya nantinya bisa segera ku setrika. Aku duduk di sebelah bapak.
"Bapak udah makan?" tanyaku. Dia mengangguk. "Kenapa kau nanya gitu?" tanya dia. Aku berdecak kecil. "Bapak kan kebiasaan minum kopi, padahal belum makan. Nanti malah nggak jadi makan, alasannya nggak selera," ucapku. Bapak tertawa kecil.
"Hujan-hujan kayak gini, emang udah cocok kali minum kopi."
Aku dan Bapak memiliki hobi yang sama. Menikmati kopi. Mungkin dulu, Mama juga suka kopi. Atau mungkin, dia selalu memperingati bapak untuk tidak meminum kopi sebelum makan. Sama seperti laranganku pada Bapak.
"Ladang gimana, Pak?" tanyaku mengingat sudah beberapa hari Bapak tak bekerja.
"Di urus sama Tobok," kata Bapak sembari menyeruput kopinya.
"Ouh." Aku mengangguk-angguk mengerti. "Besok Bapak udah ke ladang. Kasihan juga si Tobok kerja sendirian," ucap Bapak.
Aku kembali mengangguk. "Nanti kalau Uli berhasil jadi Dokter, Uli nggak bakalan buat Bapak kerja susah kayak gini."
Bapak tertawa kecil. "Bapak malah senang kerja. Olahraga," sahutnya kemudian tertawa lagi. Aku tersenyum simpul.
Tek ...
Tek ...
Tek ...Aku dan Bapak reflek menoleh ke arah suara. Sengnya bocor. "Loh? Kok bisa bocor ini? Biasanya nggak," kataku kebingungan.
"Udah tua seng nya. Makanya bocor," kata Bapak. Dia tampak tak peduli. Malah semakin menikmati kopinya.
Aku mengambil ember, kemudian meletakkannya tepat di bawa lubang. Air masuk sempurna ke dalam ember, meskipun ada percikan-percikan yang membuatku segera menghindar.
Ternyata benar. Seng nya sudah berkarat. "Nanti kau temani Bapak memperbaiki. Kalau misalnya hujannya berhenti."
"Emang Bapak udah sehat?"
"Halah. Kalau begini doang nya, mudahnya itu." Bapak tertawa kecil. Aku hanya mengangguk, sembari melihat tetesan air tersebut.
"Melihat seng bocor ini, bapak jadi teringat sama Mamakmu."
Ucapan Bapak membuatku menoleh. "Teringat mengenai apa?" tanyaku cukup antusias.
"Rumah ini di bangun kira-kira 19 tahun yang lalu. Sejak kau masih di kandungan, gak ada yang bapak ubah sedikitpun dari rumah ini. Cat nya tetap sama. Warna kesukaan mamakmu. Kain gorden, warna lantai, karpet, bahkan letak-letak barang-barang di rumah ini nggak ada yang berubah."
Ya, aku menyadari itu semua. Bahkan dulu, saat aku ingin memindahkan letak kursi, Bapak melarangnya.
"Itu semua, supaya Bapak selalu ingat Mamakmu." Bapak kembali berujar. "Beberapa tahun setelah kau ada, banyak omongan yang mengatakan kalau Bapak nggak bisa rawat kau sampai besar. Makanya Bapak di suruh kawin lagi. Tapi Bapak menolak. Karena Mamakmu, perempuan satu-satunya yang pernah Bapak cintai."
Sungguh. Aku terharu mendengarnya. Bapak terkekeh kecil. "Kayaknya hujan sudah berhenti. Kau makan, terus siap-siap bantu Bapak," ucapnya. Aku mengangguk kecil.
"Siap, komandan!" seruku, yang di balas suara tawa Bapak.
***
Kami berdua ada di atas atap rumah. Sekarang juga sudah sore. Bapak sibuk membongkar seng, sementara aku hanya menemaninya untuk membantu memberikan palu maupun paku.
Sambil menunggu senja muncul, aku angkat suara. "Pak, gimana yaa kalau nanti kita pisah?" tanyaku. Bapak meletakkan palu di tangannya kemudian menatapku.
"Pisah cem mana maksud kau?"
"Bah pisah. Mungkin karena nanti aku-" Ucapanku terpotong.
"Kalau bapakmu ini mati, jangan kau habiskan waktumu cuma untuk nangis di kuburan. Kau raih lah cita-cita kau. Kau kawin sama laki-laki yang bisa bertanggung jawab atas kebahagiaanmu. Dan yang paling penting, satu iman. Sama-sama marga Batak. Tapi, jangan pulak kau nikahi itomu sendiri."
"Bukan itu maksud Uli," kataku cepat.
"Jadi? Cem mananya?" Bapak kembali memukul paku dengan palu di tangannya.
"Yaa, maksud ku, kalau seandainya Uli pergi jauh, kuliah. Bapak kasih ijin?"
Bapak segera menghentikan aktivitasnya. Dia menatapku. "Ah, macam mana pulak? Kalau ada yang dekat, kenapa pulak kau cari yang jauh-jauh? Udahlah. Kau rapikan semua tukang-tukang ini. Nanti malah ujan pulak lagi."
"Bapak jangan mengalihkan pembicaraan kita dulu!" ucapku.
"Sebentar lagi ujan," kata Bapak kemudian segera turun. Aku di tinggal sendirian di sini. Aku menghela napas dalam-dalam. Semoga kelak, Bapak berubah pikiran untuk memberiku ijin.
***
Pelajaran bahasa Indonesia hari ini, berhubungan dengan buku-buku yang ada di perpustakaan. Sebelumnya, aku ke perpustakaan dengan Ida. Tapi perempuan yang satu itu, buru-buru pergi karena perutnya sakit. Yahh, itu kebiasaannya sejak dulu. Sudah tau sering sakit perut, malah mengonsumsi makanan pedas.
Aku memilih buku-buku filsafat di sini. Seorang siswa berjalan terburu-buru, hingga bukunya tertinggal di meja. Semacam buku hariaan.
"Eh, tunggu-tunggu," panggilku. Namun dia tak merespon. Aku segera meraih buku tersebut. "WOI!" Teriakku.
Dan, sial. Beberapa orang yang ada di perpustakaan menatapku risih. Aku menyengir, merasa bersalah.
Orang yang tadi menghilang. Bukan berarti dia mahluk halus. Maksudku, dia sudah pergi jauh. Masa bodoh deh. Toh tidak penting bagiku. Mendadak aku penasaran dengan buku harian di tanganku. Dia laki-laki. Dan dia menulis buku harian.
Kejadian langka.
Aku hendak membukanya, namun laki-laki tadi berlari cepat ke arahku, kemudian merebutnya. Dengan kasar.
Sial!
"Jangan salahin aku! Dari tadi aku udah panggil kau. Kau aja yang gak dengar. Tungkik (Budeg)!"
Napasnya ngos-ngosan. Sepertinya buku ini sangat penting baginya, sehingga aku tak bisa membacanya. Mungkin sangat pribadi. Aku menelusuri wajahnya.
Ah, ya! Aku sudah pernah bertemu dengannya. Pertama di parkiran, kedua di-lapangan voli!
Aku hendak berbicara. Sekalian ingin berkenalan. Namun dia malah pergi, seraya mengucapkan. "Makasih!"
Dia kembali menghilang. Reflek aku mencium ketiakku sendiri. Perasan aku tidak bau. Mengapa dia buru-buru pergi?
Anyway, sudah dua kali kami bertemu, dan dia selalu mengucapkan terimakasih.
Good Boy.
***
~BECAUSE OF FATE~
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Подростковая литература"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...