Aku mengeratkan peganganku pada jaket David. Kami berdua berada di atas motor saat ini. Tidak ada yang memulai pembicaraan sedari tadi. Aku takut jika harus saling mendiamkan seperti ini.
"Dav?" panggilku lirih.
David tak menyahut. Aku menghela napas berat. "Ada yang salah sama aku?" tanyaku. David masih tak menjawab. Aku menjatuhkan keningku ke punggungnya. "Aku nggak suka di diamkan kayak gini," ucapku.
Bisa ku rasakan jelas kalau David menghela napasnya. "Kenapa kau ketemu Kean di perpustakaan tadi?"
WHAT! Dia tau dari mana coba??
"Aku mau nyusul ke perpustakaan tadi. Malah lihat kalian berdua. Aku kan udah bilang. Segalanya tentang Kean engga bisa kau buang jauh-jauh apa? Ini malah di temui lagi. Aku kan udah bilang, aku nggak suka dia."
"Aku memang ketemu dia tadi. Tapi enggak sengaja."
"Yang penting ketemuan kan???"
"Iyaa. Maaf."
Hening.
Aku menjauhkan kepala ku dari punggungnya. Di depan ada seorang polisi. David menghentikan motornya saat seorang polisi datang menghampiri kami.
"Lain kali kalau mau ke manapun, mesti pake helm." Polisi itu berbicara sembari melihatku.
Aku tersenyum canggung. "Maaf Pak——"
"Maaf, Pak. Besok-besok saya beliin pacar saya helm deh," potong David. Aku menepuk pundaknya kesal. Mengapa dia harus mengatakan bahwa aku pacarnya?
"Yaudah. Silahkan di lanjutkan perjalanannya. Syukur sekarang tidak ada razia."
David tersenyum seraya mengangguk. "Terima kasih sudah di ingatkan, Pak." Dia berucap. Motor kembali melaju.
"Lihat polisi tadi, aku jadi kebayang," kata David. Aku mengernyitkan dahi. "Kebayang apa?"
"Nanti kalau aku jadi polisi," katanya. Aku tertawa kecil. "Terus?" balasku.
"Yaaaa gimana ya. Nanti kalau aku jadi polisi, kau jadi bhayangkari nya."
Senyumku mengembang. David tertawa kecil. "Tapi nanti kalau aku gagal——"
"Aku bakalan tetap jadi Uli yang selalu siap jadi pendampingmu," potongku cepat.
Hening.
"Terima kasih," ucapnya.
"Terima kasih untuk?" tanyaku kembali.
"Karena sudah terlahir di bumi," katanya.
Lagi. Senyumku mengembang. "Aku jadi pengen ketemu sama Ibumu," kata David. Aku mengerutkan kening. "Kenapa?" tanyaku.
"Untuk mengucapkan terima kasih."
"Buat?"
"Yaa kalau enggak ada dia, duniaku pasti nggak semenyenangkan ini. Karena kau enggak lahir buat jadi pacarku."
Entah apa yang terjadi berikutnya. Air mataku mendadak jatuh. Aku segera menunduk. "Belum pernah ku rasakan sebahagia ini dengan seseorang, Uli," sahutnya lagi.
"Kau bahkan mengubah separuh hidupku."
Ku pejamkan mataku erat-erat seraya berbisik pelan. "Tolong jangan pergi."
***
Begitu kami sampai di rumah, Bang Tobok segera bangkit. Sedari tadi dia duduk di bangku teras. Aku segera turun. "Kau nggak singgah, Dav?" tanyaku. David melirik bang Tobok. "Enggak. Aku harus pulang sekarang," ucap David. Aku tau dia berbohong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Teen Fiction"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...