"Sesuai kesepakatan semalam, hari ini kita akan mengadakan ulangan harian. Ibu tidak mau alasan apapun. Termasuk, belum siap karena belum belajar."
Mendengar ucapan guru Fisika tersebut, semua siswa-siswi di ruangan kelas ini mendadak grasak-grusuk. Aku berbalik, David tersenyum kemudian mengepalkan tangannya ke atas, seakan-akan dia mengatakan untuk 'semangat.' Mungkin?
Aku tersenyum simpul. Mengingat kami berdua sudah pacaran saat ini. Di mulai dari semalam, hehehe. Begitu soal di berikan di hadapan, aku segera mengerjakannya. Mengerjakannya dengan semampuku. Tidak mudah. Tidak sulit juga.
Aku berusaha mengerjakan soal tersebut sesuai apa yang di ajari David. Semuanya terlihat lebih mudah. Menit ke menit berlalu, David segera maju ke depan untuk mengumpulkan jawabannya. Semuanya mendadak panik.
"Agoh, belum siap aku."
"Bagi punya kau lah."
"Apa pulak, punya ku kosong."
Begitu percakapan yang terdengar. Hingga guru Fisika memukul meja, menyuruh untuk tenang. Tiga soal belum terjawab. Aku menatap soal itu baik-baik.
"Kalau kau susah hafal rumusnya, kau ingat aja wajahku baik-baik. Nanti pasti ingat," begitu ucapan David, kemarin di perpustakaan. Nyaris membuatku tersenyum.
Segera aku memusatkan pikiranku, hingga pada akhirnya rumus itu seketika muncul di pikiran. Segera ku pakai untuk mengerjakan soal.
Dan yap!
Hasilnya ada di obsen. Segera ku bulati huruf C di soal. Lanjut ke dua soal terakhir.
Ku kerjakan semampuku, hingga akhirnya selesai juga. Aku segera maju ke depan, di susul oleh Ida, Ridwan dan yang lainnya. Ulangan hari itu berakhir cukup memuaskan menurutku.
***
"Nggak ke kantin kau?" tanya Ida sembari merapikan dasinya. Aku menggeleng kecil. "Lagi mager aku, Da. Kau sama yang lain aja dulu," sahutku. Ida menaikkan sebelah alisnya. "Yaudah. Nggak sekalian nitip?" Kembali dia bertanya. Ku tanggapi dengan gelengan kecil.
Ida pada akhirnya berlalu pergi dengan yang lain. Aku hendak melangkah ke kamar mandi, namun David malah duduk di bangku Ida. Dia menatapku. "Kenapa ga ke kantin?" tanyanya.
Aku mengedikkan bahu. "Ga lapar," jawabku. David mengangguk kecil. "Jadi .... Kau mau ke?" Pertanyaan David ku tanggapi dengan helaan napas. "Kamar mandi. Kenapa? Mau ikut?" tanyaku.
David mengangguk sekali. Nyaris membuatku membulatkan mata. David tertawa kecil. Namun pandangannya tersorot ke arah laciku. Aku mengernyitkan dahi. "Apa?" tanyaku, sembari melirik laciku.
Amplop. Ya, amplop.
Segera ku raih. Buru-buru ku masukkan ke dalam tas. David menaikkan alisnya. Seakan-akan bertanya, 'Amplop apa itu?'
"Ini amplop kosong," jawabku untuk menghindari pertanyaan lanjutan.
Sepertinya jawaban itu tidak membuatnya puas. "Kirain ada surat cinta," katanya. Aku tertawa kecil untuk menanggapinya. "Udahlah. Gausah di bahas," sahutku.
Dan sepertinya, itu manjur. Dia tak menyinggung soal amplop itu lagi.
"Emm, tadi ulangannya aman?" tanyanya, seolah-olah supaya kami tetap bercengkrama, tanpa kehilangan topik.
Aku mengangguk sekali. "Ga mudah, ga sulit."
Dia tersenyum. "Yaa, semoga aja hasilnya memuaskan," ucapku. Dia mengangguk kecil. "Jadi, nggak ada kata manis nih untuk ku, karena udah bantuin kau—”
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Teen Fiction"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...